Dulu, di rentang waktu sekitaran tahun 90-an ke bawah, masyarakat negeri pulau yang lebih dikenal dengan nama Pulau Tujuh, lebih terbiasa menggunakan minyak niuk (minyak kelapa, red) ketika hendak menggoreng masakan.
Masyarakat pada waktu itu, hampir tidak mengenal minyak sawit untuk menggoreng. Tiap- tiap rumah, tersedia pagu khusus yang terbuat dari kayu, untuk menaruh minyak kelapa yang sudah diisi di dalam botol- botol kaca bening.
Tak terkecuali, kedai- kedai sembako pun, menjual minyak kelapa hasil olahan dari petani tersebut. (Kopra Pulau Tujuh dalam Catatan Perjalanan. Indonesiana.id, edisi 21 Agustus 2017).
Walau diolah secara manual, minyak kelapa tidak kalah bagusnya jika dibandingkan dengan minyak goreng lainnya.Pastinya, tidak ada campuran bahan pengawet dan sehat untuk digunakan.
Pulau tujuh, termasuk Kepulauan Anambas di dalamnya. Yakni, Kecamatan Jemaja dan Kecamatan Siantan. Rata- rata masyarakatnya pada waktu itu, menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai petani dan nelayan. Bahkan, penghasilan yang lebih menjanjikan ketika itu cenderung ke sektor pertanian dari pada sektor perikanan.
Kelapa, merupakan komuditas utama yang memiliki harga di masa- masa itu, setelah karet dan cengkeh. Karenanya, hampir seluruh masyarakat bertanam kelapa. Merawat dan menjaga kebun kelapanya dengan baik. Agar terhindar dari hama tupai dan kera.
Kelapa ketika itu, diolah menjadi kopra. Kemudian dijual kepada toke- toke sebagai pengepul, harganya lumayan. Bila sudah banyak, toke pengepul kelapa pun menjualnya ke luar daerah dengan menggunakan perahu layar bermotor.
Pada era 50-60,- an, kopra dari Jemaja dan Siantan, bahkan menembus pasar Malaysia dan Singapura. Dimana, saat itu Indonesia memiliki hubungan kerjasama dagang dengan Malaysia. ( Pulau Tujuh Zamrud Khatulistiwa yang Kehilangan Cahaya. bahana mahasiswa.co.id, edisi 15 Desember 2014).
Esensinya adalah, kelapa menjadi primadona kala itu. Namun seiring dengan perkembangan, kondisi berubah. Pasca berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru, yakni Kabupaten Kepulauan Anambas, komodity kelapa mulai tidak memiliki harga jual yang memadai. Sehingga, pelan- pelan petani kelapa membiarkan kebun kelapanya terlantar dan terbengkalai.
Akhirnya, tidak ada lagi minyak kelapa yang dulu begitu bersahabat dengan masyarakat itu. Kita seakan kehilangan khazanah asli daerah. Padahal minyak kelapa itu sudah turut andil membesarkan kita saat ini.
Kini, di tengah kelangkaan minyak goreng di pasar, kita seakan malu dengan jati diri daerah sendiri yang dulunya tidak pernah putus minyak kelapa untuk menggoreng. (Jokowi Miris Minyak Goreng di RI Langka Sampai 4 Bulan. detikfinance, edisi 30 April 2022).
Di Hari Raya Idul Fitri 1443 H ini, berkaca dari fakta- fakta yang ada, bolehlah kiranya kita kembali menggantang asa, agar minyak kelapa menjadi comodity pertanian Kepulauan Anambas. Sebagai penyangga ekonomi masyarakat.