Mengenang peristiwa silam
AnambasPos.com, – Libur sekolah di hari Minggu, saya yang suka lari-larian dengan riang hati menuju ke rumah kakek. Dalam kesehariannya, kakek menjalani aktivitas sebagai seorang nelayan tradisional. Mulai dari transportasi hingga alat tangkap yang digunakan kakek, sangatlah sederhana. Meski rambutnya memutih, kakek tidak kenal lelah untuk berikhtiar mengais rezeki. Bersahabat dengan alam, gemuruh jiwa semangat kakek tetap saja membara.
Sesampainya saya, tampak kakek sudah berada diatas sampan miliknya. Sebagai bocah ingusan yang tidak mengerti apa-apa, pertama kalinya kakek mengajak untuk menemani dirinya melakukan aktivitas menangkap ikan.
“Jo ikut aki ke laut”
“Ya ki, Jo bilang sama mak dan apak dulu”
“Udah langsung naik ke sampan saja, nanti wan yang bilang sama mak dan apak” kata nenek yang memegang rantang bekal untuk dibawa.
Dibalik genggaman jemarinya, perlahan kakek mendayung sampan. Tenangnya permukaan air laut pagi itu, kakek melihat ke arah kiri, kanan, depan dan belakang. Melihat ke empat arah sudah menjadi kebiasaan kakek. Dengan memperhatikan posisi gunung atau pulau sebagai tanda telah sampai di titik lokasi penangkapan ikan.
“Labuh jangkar”
Boouummss…! air laut terpercik ke wajah saya.
“Haa haaaa haaa” kekek tertawa riang.
“Nyelam”
“Hee, tak ki”
Untuk menangkap ikan, kakek menggunakan alat tangkap tradisional yang disebut ‘Bubu’. Bubu kakek rakit secara khusus menggunakan bahan dasar rotan, kawat jaring dan tali. Cara penggunaan perangkap ikan ini dengan meletakkannya di sela-sela terumbu karang. Sasaran utama yaitu untuk menangkap jenis ikan kerapu. Kakek mulai menyelam.
***
Saat timbul ke permukaan air laut, kakek sedikit menghela nafasnya.
“Huuuh..! tak ada ikan Jo”
Kakek lanjut menelusuri, namun jelang beberapa saat masih belum menemukan bubu yang berisi ikan kerapu.
“Masih belum ada Jo”
Kakek naik ke atas sampan dengan membawa sebuah bubu yang berisi ikan lain untuk dibawa pulang ke rumah. Nantinya ikan ini akan dimasak nenek dan dijadikan lauk.
“Kita istirahat sebentar, makan dulu, apa lauk wan buat ini” kakek membuka rantang.
“Ada ikan goreng sambal merah, enak ki”. Saya dan kakek makan.
Setiap hari, terdapat belasan unit perangkap ikan dipasang kakek di bebarapa terumbu karang yang berbeda. Untuk satu lokasi terumbu karang, kakek memasang 2 unit perangkap ikan.
Usai makan kakek lanjut menelusuri dan menyelam.
“Kerapu Cepak Jo” kakek menemukan bubu yang berisi salah satu jenis ikan kerapu.
“Besar tak ki”
“Coba nyelam” kakek menyodorkan kacamata selamnya.
Saya mengambil kacamata selam, lalu terjun ke laut.
“Yang mana bubunya ki”
“Yang itu,” kakek memandu dari permukan air.
Saya coba menyelam, namun sayangnya karena kacamata selam kakek ukurannya terlalu besar, tidak dapat digunakan dengan sempurna. Lagi pula, saya yang masih bocah ingusan tidak mungkin mampu menahan nafas untuk bisa sampai ke dasar laut.
“Masuk air ki kacamatanya”
“Haaa haa haa” kakek tertawa.
“Naik ke atas sampan saja lah, buka pitak” pinta kakek.
‘Pitak’ merupakan wadah penampungan ikan yang menyatu pada sampan. Pitak berada dibagian tengah sampan, ruangnya disekat secara khusus dan dilobangi bagian bawah supaya air laut bisa masuk, agar ikan kerapu dapat dijual dalam kondisi hidup.
Kekek kembali menyelam dan mengambil bubu yang berisi ikan kerapu untuk dibawa naik ke atas sampan.
“Tarik rotan itu, keluarkan ikannya” kakek mengajari.
Saya membuka penutup bubu dan mengeluarkan ikan kerapu, lalu meletakkannya ke dalam pitak. Usai meletakkan ikan, kakek mengambil bubu dan menyelam ke dasar laut untuk dipasangkan kembali.
***
Siang harinya, belum selesai menelusuri semua bubu, hembusan angin mulai kencang. Sampan yang kami gunakan mulai bergoyang ditepuk gelombang.
“Ayo kita pulang cuaca buruk” ajak kakek sambil naik ke atas sampan lalu menarik jangkar.
Dari kejauhan arah barat tampak gelap diiringi cahaya yang berkelebat di langit, menandakan akan terjadi badai. Kakek menyebutnya ‘ribut barat’. Ntah mengapa?, kakek tampak tenang. Meski gelombang sangat tinggi untuk sebuah ukuran sampan kecil, sewaktu-waktu bisa terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan.
“Tarik tali itu”
“Tarik bagaimana ki” kebingungan.
Kakek yang mulanya berdiri di depan segera menuju belakang sampan dan mengambil tali dari tangan saya.
Sebelum melakukan aktivitas di laut, kakek selalu membawa sebuah terpal yang sudah dipotong menyerupai bentuk segitiga. Dua sisi diantaranya dipasang kayu bulat. Rakitan terpal dan kayu itu kakek menyebutnya “Layar”.
Saat berdiri di depan sampan, kakek memancang sebuah tiang yang juga selalu dibawanya. Ternyata tiang itu sengaja dibawa kakek sebagai pelengkap supaya bisa membentangkan layar. Sementara tali yang diambil kakek dari tangan saya, sebagai alat untuk mengatur tekanan angin pada layar.
“Laju ki”
“Eii laju dia Jo, haa haaa” kakek tetap tertawa meski akan dihantam badai. Dengan tenang mengemudi sampan menggunakan dayung ukuran kecil.
Baru saya ketahui, bahwa sampan menggunakan layar lebih cepat dibandingkan dengan berdayung. Hujan mulai menetes.
***
Hujan semakin lebat, saya gemetar kedinginan. Karena tidak ada tempat untuk berlindung, kakek mengambil sekeping papan lantai sampan.
“Berlindung pakai ini” ujar kakek.
Basah kuyup ditimpa hujan dan terkena percikan gelombang air laut tidak dihiraukan kakek. Dirinya tetap saja tenang dan fokus mengemudi sampan. Perjalan pulang tidaklah langsung menuju ke rumah, tetapi singgah di ‘Kem’ terlebih dahulu. Kem merupakan tempat dimana nantinya kakek akan melakukan transaksi jual beli ikan kerapu.
Lebih kurang selama 30 menit berlayar, saya dan kakek sudah mulai mendekati Kem. Kakek segera menggulung layar yang tadi dibentangkan dan menurunkan tiangnya. Lalu kakek melanjutkan dengan berdayung.
“Ikat tali ke tiang Kem” ujar kakek ketika tiba.
Dari kejauhan tampak seorang lelaki tua mengenakan jas hujan dan membawa sebuah tangkul ikan (jaring angkat ukuran kecil) datang menghampiri. Lelaki tua itu adalah pemilik Kem. Ia memberikan tangkul kepada kakek, guna memindahkan ikan kerapu dari pitak sampan.
“Naik ke atas Kem dulu, berteduh” ajaknya.
Melihat saya menggigil kedinginan, ia mengambil handuk, celana pendek dan baju.
“Mandi dulu di belakang, ganti pakaian”
Seusai mandi dan ganti pakaian, dingin yang saya rasakan mulai terasa sedikit berkurang. Saya menghampiri kakek dan pemilik Kem.
“Ini siapa bang?” tanya ia kepada kakek,
“Cucu saya” jawab kakek.
“Minum teh” ia menawarkan.
“Sudah sekolah?” tanyanya.
“Sudah pak”
“Kelas berapa?”
“Lima SD pak”
Tampak ia memberikan sebuah kertas bewarna putih dan sejumlah uang kepada kakek.
“Ini bang”
“Dapat duit kita Jo, rezeki Jo ini, haaha haa” itulah kakek, yang mudah tertawa.
“Sekolah betul-betul, sudah lihatkan bagaimana susahnya aki cari duit. Hujan-hujan terkena ribut barat, dingin” pesan pemilik Kem, saya tersenyum.
Jelang beberapa jam, hujan mulai reda. Kakek pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju ke rumah.
“Saya pulang dulu” kakek pamit.
“Iya, hati-hati bang” jawab pemilik Kem.
Ia mengantar, hingga saya dan kakek kembali turun ke sampan.
“Buka tali dari tiang Kem” pinta kakek.
Kali ini, tangan kakek tampak sedikit gemetar memagang dayung sampan. Kakek baru merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.
“Nanti Jo mau beli apa?” tanya kakek sambil mendayung.
“Tambul ki”
‘Tambul’ merupakan bahasa daerah yang artinya kue. 10 menit mendayung, kami tiba di belakang rumah tempat kakek menyimpan sampannya.
“Oii cucu wan pulang” sambut nenek yang sempat khawatir karena badai tadi.
“Naik saja, biar aki sama wan yang mengurus ikan. Hati-hati naik tangga”
“Cucu masuk ke rumah saja” kata nenek.
“Iya wan”
Nenek mengambil baskom.
***
Saya yang berdiri di samping pintu, melihat kakek memindahkan ikan ke dalam baskom. Kemudian nenek membawanya dan dibersihkan hingga siap untuk dimasak.
“Tadi dapat duit tak jo” tanya nenek sambil menggoreng ikan. Sementara kakek sedang mandi.
“Dapat wan, duitnya disimpan aki”
Tak lama kakek menghampiri.
“Ha haaa, basah Jo kena hujan” raut wajah kakek tampak sedikit mengejek. Nenek tersenyum.
“Jo mau beli tambul wan” kata kakek.
“Kita buat tipeng empap saja, duitnya untuk bekal ke sekolah” jawab nenek.
‘Tipeng empap’ merupakan makanan khas daerah yang saya sukai.
“Kita makan nasi dulu, setelah itu kita buat tipeng empap” ajak nenek.
Usai makan nenek menuju ke warung (toko kelontong) untuk membeli bahan.
***
Nenek kembali pulang dan sampai di rumah.
“Panggil apak sama mak ke sini, bilang wan mau buat tipeng empap” pinta nenek. Saya menuju ke rumah, yang jaraknya berdekatan.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam, eh anak emak sudah pulang. Kasian terkena ribut barat tadi”
“Mak, wan suruh ke rumah, wan mau buat tipeng empap, apak mana?”
“Apak dibelakang” saya menemui ayah.
“Ha haaa” ayah ketawa sebab baju yang diberikan pemilik Kem tadinya kebesaran.
“Baju siapa dipakai anak apak ini”
“Baju orang kem, wan suruh apak sama mak ke rumah. Wan mau buat tipeng empap”
“Iya nanti kita ke rumah wan, ganti baju dulu”
Sesampainya disana, tipeng empap sudah dihidangkan. Saya dan kedua orang tua makan bersama kakek dan nenek.
“Hari Minggu depan ikut aki lagi ke laut, kalau ada rezeki dapat bekal sekolah” ujar nenek.
“Tanya mak sama apak, wan”
“Ikut saja” kata ayah.
“Iya” sambut ibu, kedua orang tua mengizinkan.
Dihari Minggu berikutnya, saya kembali menemani kakek.
“Pakai layar saja ki laju”
“Haa Haaa.. tak ada angin Jo. Jo mau tiup” canda kakek.
“Kalau tak ada angin tak bisa pakai layar kah ki?”
“Tak bisa Jo” kakek tersenyum.
***
Semenjak diizinkan kedua orang tua, hampir disetiap hari Minggu saya menemani kakek. Bahkan kakek mengajari hingga bisa mendayung sampan.
8 tahun berjalan, saya menuju ke pulau seberang. Melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, saya tidak lagi menemani kakek.
Begitu juga dengan kakek yang saat ini telah lanjut usia. Tidak berdaya melakukan aktivitas, kakek pun tidak lagi membentangkan layar sampannya. (*).
Penulis Lahir di Sedanau, Natuna