Menurut dia, kebijakan cukai sangat berpengaruh terhadap kinerja IHT, berpotensi mengganggu kinerja IHT legal namun tidak menyasar rokok illegal. Dari data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), tarif CHT sudah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan.
“Kebijakan tarif CHT hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok illegal,” bebernya.
Edy memprediksi, dengan adanya kenaikan tarif cukai di saat situasi ekonomi belum pulih akan membuat IHT semakin terpuruk. Berdasarkan prediksi asosiasi, volume produksi tahun ini akan kembali turun pada kisaran 10-15% yang disebabkan tiga hal.
Pertama, beban berat akibat kenaikan CHT tahun 2021 dan dampak pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Kedua, terjadi perubahan konsumsi dari SKM/SPM ke SKT atau Gol I/II ke Gol di bawahnya. Ketiga, rokok ilegal dan tingwe/tembakau iris (TIS) semakin marak di pasar.
“Konsekuensinya, pengendalian konsumsi rokok legal sedangkan peredaran rokok ilegal meningkat, serta mengganggu kinerja IHT yang beroperasi secara legal,” ucapnya.
Sementara, budayawan Mohamad Sobary berpendapat, bangsa kita memproduksi rokok dan kemudian merokok, itu merupakan strategi kehidupan, cara hidup, cara bertahan hidup dari beragam tekanan ekonomi.
Cara hidup itu, kata Sobary, jauh lebih penting daripada sekedar rokok itu urusan kebudayaan. Bukan hanya gaya hidup, bukan hanya seni-senian, tapi kita memproduksi rokok untuk hidup.
Dalam tataran bernegara, cara kita menyusun strategi kehidupan saat ini dilawan oleh 3 tingkatan peraturan, yakni aturan global, nasional, lalu aturan daerah. “Kita harus mengawasi aturan global sekaligus mengawasi pemain global yang mengancam kedaulatan kretek Indonesia,” tandasnya.