Oleh : Amaruddin , Wakil Direktur Pandu Media Group
Pemberdayaan berasal dari kata daya, yang berarti kekuatan, tenaga, pengaruh akal budi. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana kita memberdayakan akal, supaya bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat dalam membangunan peradaban. Prilaku itu selayaknya menjadi orientasi setiap generasi hari ini dalam menjalankan kehidupan yang kedaulatan negaranya berada di tangan rakyat.
Sebagai penjabat yang notabenenya mewakili rakyat dan pelayan rakyat akan tercermin dalam rutinitas keseharian pekerjaan mereka. Fenomena kesenjangan sangat menonjol. Di satu sisi ada kelompok yang bermegah-megahan dan menumpuk-numpuk harta, namuan pada sisi lain ada kelompok yang melarat, hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan.
Di sinilah kita perlu pemberdayaan, karena pemerintah kita sekarang ini sedang kerisis mental dan fitnah. Rakyat kita yang serba kekurangan. Kekurangan ilmu pengetahuan dan wawasan, kekurangan mata pencaharian dan lain sebagainya, harus segera ditemukan jalan keluarnya. Karen ajika tidak kesenjangan tersebut sebagai pemicu konflik horizontal.
Dalam pembangunan kehidupan manusia seutuhnya, di era reformasi ini seakan kita sudah kehilangan makna reformasi jadi repot dengan aksi-aksi. Kalau tidak percaya, tanya diri sendiri. untuk itu penulis ingin menelisik kembali perjalan reformasi semenjak pengunduran diri Sueharto 21 Mei 1998. Diteruskan oleh Bj.Habibie sampai ke presiden ke- 7, Ir. Joko Widodo yang kepemimpinannya kita jalani sampai saat ini. Wabil khusus di persada Provinsi Kepri.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam catatan akhir tahun di TV One, sekitar jam 6.30 pagi, Saptu 31 Desember 2016, dia menyebutkan walaupun perekonomian kita naik 5 % tapi kesenjangan sosial kita sangat-sangat memprihatinkan, masih jauh dari harapan rakyat. Masih banyak pengusaha dan penjabat yang punya rumah mewah tanah ratusan hektar sedangkan rakyat masih banyak yang kelaparan dan belum punya rumah.
Mengapa ini bisa terjadi, Bung Zulkifli Hasan menegaskan kembali jangan jadi penjabaat, hanya ingin jadi raja di daerahnya masing-masing yang menyebabkan menjadi dis-oriantasi ( di luar pemahaman). Selayaknya penjabat itu sadar diri, karena di era reformasi ini yang berdaulat adalah rakyat sedangkan penjabat hanyalah pelayan rakyat.
Tetapi apa yang terjadi hari ini dengan mengatasnamakan rakyat, penjabat sebaliknya banyak yang mesengsarakan rakyatnya, seakan mereka lupa bahwa yang memilih mereka itu adalah rakyat. Sedangkan harta identik dengan kebendaan yang terlihat secarah nyata di depan mata padahal harta yang dimaksud dalam pemberdayaan tulisan ini bukan harta yang terlihat di depan mata saja, akan tetapi ada harta yang tidak bisa terlihat secara kasat mata tapi bisa dirasakan manfaatnya oleh manusia yang berada disekitarnya. Apa itu harta yang tidak terlihat dengan mata kasar kita?, yakni mental, sikap dan prilaku.
Rakyat menaruh harapan kepada para penjabat yang berwenang akan ketulusan dari lubuk hati mereka yang paling dalam agar ucapan diselaraskan dengan perbuatan. Karena sesunggunya ke tulusan hati itu tidak bisa di ukur dengan harta benda. Itulah yang di maksud dengan harta yang tidak terhingga dalam tulisan ini. Semoga bisa menjadi inspirasi generasi kita, sampai jumpa dalam tulisan yang akan datang dalam frekuensi yang berbeda, ***