Jauh sebelum Pemerintahan Xi Jinping mendirikan Pusat Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan (Vocational Education and Training) atau apa yang sekarang ramai dituduhkan media barat sebagai ‘detention camps’ (kamp penahanan) Muslim Uighur di Xinjiang yang dibangun pada 2014, Lilian Craig Haris (1993) pernah membuat tulisan dengan judul ‘Xinjiang, Central Asia and The Implications for China’s Policy in The Islamic World’.
Tulisan itu membahas turbulensi di Xinjiang sebagai bagian dari wilayah China dikaitkan dengan posisi geostrategis, geopolitik maupun konektivitas geografisnya dengan negara-negara Asia Tengah dan Timur Tengah.
Meskipun berbagai kebijakan Beijing untuk mengatasi instabilitas di Xinjiang baik melalui instrumen ekonomi dan politik tidak pararel dengan kompleksitas kepentingan negara-negara berpenduduk muslim, tetapi respon yang ditampilkan negara-negara Arab dan Asia Tengah tetap adem ayem.
Minimnya respon negatif dari negara-negara Timur Tengah terhadap kebijakan Beijing di Xinjiang selain untuk kepentingan pragmatis ekonomi dan militer (pembelian persenjataan) juga bertujuan memelihara hubungan baik dengan China sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB agar aware dengan kepentingan negara-negara dunia ketiga termasuk negara-negara muslim di dalamnya.
Haris juga menyebut otoritas China menegasikan alternatif pemecahan persoalan melalui skema konsultasi pemerintah dengan pemerintah (G to G) berkait cara penanganan turbulensi di Xinjiang karena Beijing sangat sensitif terhadap intervensi pihak luar atas apa yang menjadi urusan dalam negerinya.
Penulis lainnya adalah Colin Mackerras (2011), yang membuat paragraf khusus tentang dampak peristiwa kerusuhan di Urumqi, Ibukota Xinjiang pada 2009 bagi hubungan China dengan negara-negara muslim. Tulisannya itu bertajuk ‘The Disturbances in Tibetan Areas and Urumqi 2008-2009 : Impications for China’s International Relations’.
Hal yang menarik dari tulisan Mackerras adalah hampir semua pemerintahan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia termasuk Iran dan Pakistan memilih diam. Mereka tidak berkomentar negatif atau justru mengakui otoritas China untuk menanggulangi kerusuhan etnik sebagai urusan domestik.
Negara-negara Asia Tengah dan sebagian Timur Tengah seperti Suriah bahkan memberikan dukungan kepada pemerintah China untuk menegakkan hukum dan ketertiban dalam menanggulangi separatisme. Hanya Pemerintah Turki yang negaranya menjadi tujuan migrasi sebagian etnis Uyhgur memiliki sikap beragam.
Presiden Abdullah Gul yang pernah berkunjung ke Xinjiang menyebut Urumqi sebagai kota yang menakjubkan dan sangat penting bagi kebijakan jalur sutra. Sementara Recep Tayyip Erdogan yang waktu itu masih menjadi perdana menteri memberikan reaksi keras dengan menyebut kerusuhan di Urumqi sebagai peristiwa genosida, meskipun kemudian Pemerintah Turki menyatakan tidak berada di belakang gerakan separatis Uighur.
Reaksi atas penanganan kerusuhan Urumqi pada 2009 dari entitas nonpemerintah (ulama dan LSM) memang muncul di berbagai negara, tetapi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Di Indonesia hanya mucul demonstrasi berskala kecil.
Di Iran memunculkan kecaman dari Ayatollah Naser Makarem. Sedangkan di Turki, Jerman, Norwegia dan Belanda yang massa demonstrannya dari etnis Uyhgur dilakukan dengan cara membakar bendera China di depan kantor-kantor konsulat negeri tirai bambu tersebut. Namun, aksi tersebut minim dukungan dari penduduk lokal.
Reaksi dalam bentuk ancaman terhadap kepentingan China justru muncul dari mereka yang terafiliasi dengan jaringan teroris Al Qaeda seperti video yang menampilkan Abu Yahya Al-Libi yang diunggah pada 7 Oktober 2009 yang meminta etnis Uighur untuk serius bersiap berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata (2011, 38).
Kompleksitas Persoalan Xinjiang di Tengah Perang Dagang AS-China
Kini masalah di Xinjiang tidak saja dikaitkan dengan apa yang disebut Pemerintahan Xi Jinping sebagai penanganan terhadap tiga kejahatan (three evils) yakni terorisme, separatisme, dan ekstrimisme. Namun juga mulai merambah ke persoalan perang dagang (trade war) antara Amerika dan China.
Minggu lalu (7/10/2019) Departemen Perdagangan Amerika telah mengeluarkan daftar hitam (blacklist) larangan 28 entitas di China untuk membeli produk-produk Amerika karena dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan entitas tersebut atas etnis Uighur.
Sebetulnya, Pemerintah China telah membuka diri bagi kunjungan pihak luar negeri termasuk diplomat, wartawan, LSM dan akademisi ke pusat-pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang. Di antaranya delegasi dari negara-negara berpenduduk muslim seperti Indonesia untuk menyaksikan secara langsung atas apa yang terjadi di sana.
Bahkan dua bulan lalu (16/8/2019) otoritas China juga telah mengeluarkan buku putih yang berisi penjelasan lengkap atas apa yang mereka lakukan di Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan (Vocational Education and Training) Etnis Uighur di Xinjiang lengkap dengan latar belakang, dasar hukum, isi pelatihan, proteksi terhadap hak dasar, fasilitas, serta manfaat yang akan diterima peserta training.
Buku putih itu secara implisit membantah tuduhan media barat bahwa otoritas China mendirikan kamp-kamp penahanan (detention camps) sekaligus memperingatkan semua pihak bahwa upaya melawan terorisme dan ekstrimisme merupakan tanggung jawab bersama (shared responsibilities) masyarakat internasional.
Berbagai kerja sama international guna mengatasi ancaman terorisme termasuk yang dilakukan negara-negara barat dan negara-negara berpenduduk muslim di antaranya melalui program CVE (Countering Violent Extrimism) yang sudah berjalan baik meskipun karakteristik dan strategi pelaksanaannya berbeda di setiap negara.
Upaya diplomasi Pemerintah China dalam menjelaskan persoalan Xinjiang memang belum sepenuhnya berhasil. Namun yang dilakukan Beijing melalui diplomasi taiping shengshi untuk menegaskan keberpihakannya dalam menciptakan perdamaian dunia sekaligus menguatkan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara termasuk dengan negara-negara berpenduduk muslim akan memberikan dampak yang konstruktif guna mengurangi distorsi informasi yang sampai saat ini masih mewarnai pemberitaan di berbagai media baik mainstream maupun media sosial berkait Muslim Uighur.
Dengan tidak berpretensi memihak salah satu kekuatan dalam konteks perang dagang Amerika dan China, diperlukan keseimbangan informasi bagi masyarakat di negara-negara berpenduduk muslim seperti Indonesia agar bisa melihat persoalan di Xinjiang secara lebih jernih dan terukur tanpa mengorbankan kepentingan nasional kita. Wallahu a’lam bi shawab.
Imron Rosyadi Hamid (Rois Syuriyah PCINU Tiongkok, Kandidat PhD. Hubungan International Jilin University China).
Sumber : detik.news