Menurut Yasonna, salah opsi terbaik untuk mencegah terjadinya permainan dalam penanganan kasus narkoba adalah revisi UU Nomor Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam revisi UU Narkotika tersebut, kata dia, definisi pengguna atau pemakaian narkobah harus diatur secara tegas dan jelas sehingga tidak ditafsirkan sangat luas.
“Jadi, di UU Narkotika nanti tidak boleh tafsiran yang sangat luwes. Multitafsir antara pengguna dengan kurir, ini kan moral hazardnya tinggi sekali. Supaya dia fair, penentuan dia ini pemakai dan tidak pemakai (harus jelas), tidak bias kepada kelompok yang berkemampuan atau yang punya pengacara-lah. Karena itu, mendorong revisi UU Narkotika,” pungkas Yasonna.
Sebelumnya, Johan Budi dalam rapat tersebut, mengungkapkan informasi dugaan bisnis rehabilitasi dilakukan oleh aparat penegak hukum. Menurutnya, dugaan bisnis terjadi karena multitafsir pasal terkait pengguna atua pemakai dalam UU Narkotika.
“Jangan-jangan, saya menduga Pak Menteri, ini saya pernah dapat laporan jadi itu dibisniskan, Pak. Pak Menteri pernah mendengar itu tidak? ‘Jadi kamu mau direhab atau mau dipenjara?’ Itu ada, oknum tentu saja. Itu ada yang membisniskan gitu. Ini kan, kalau yang tidak punya, kasihan Pak. Kalau tidak bisa bayar, dia masuk penjara,” ungkap Johan Budi.
Menurut Johan, bisnis rehabilitasi pengguna narkoba tersebut ada, tetapi dia tidak berapa jumlahnya. Johan pun mendorong adanya payung hukum untuk mengantisipasi terjadinya penafsiran yang berbeda antara pengguna, kurir maupun bandar narkoba.
“Maksud saya itu dikunci oleh payung hukum Pak, yang tidak memungkinkan penegak hukum itu menafsirkan berbeda, apakah itu polisi, jaksa maupun hakimnya,” pungkas Johan.