Covid-19 dan Labilitas Kebijakan Pemerintah (Opini Pekan Ini)

Dibaca: 221 x

M Aris Munandar

Oleh: M Aris Munandar

(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Penulis Buku dan Sekretaris Jenderal KAMMI Komisariat Sosial Humaniora Universitas Hasanuddin Periode 2018-2019)

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi perhatian publik Indonesia hingga detik ini. Bagaimana tidak, dari data yang diberikan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat jumlah pasien Covid-19 yang sembuh di Indonesia telah mencapai 103 orang, sedangkan kasus positif menjadi 1.677 orang (Sumber: https://www.covid19.go.id/).

Bukan hanya persoalan kedaruratan medis yang menjadi perhatian publik, tetapi labilitas kebijakan Pemerintah dalam menangani Covid-19 yang menimbulkan ketidakpastian di masyarakat khususnya bagi pengamat kebijakan yakni penulis di media online maupun cetak.

Perlu dipahami bersama, suatu kebijakan lahir bukan hanya karena atas pikiran (logika) tetapi berdasarkan kenyataan di masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes (Mantan Hakim Amerika Serikat) bahwa The life of the law has not been logic, it has been experience” (kehidupan hukum bukanlah pada logika, tetapi pada pengalaman).

Maksunya adalah hukum/kebijakan itu dibentuk bukan karena ada bisikan dari kiri atau kanan, melainkan untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sebab kebijakan dibentuk adalah untuk manusia seperti tutur dari Satjipto Rahardjo bahwa “hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum”. Similia similibus juga berlaku bagi keadaan hari ini, bahwa dibutuhkan suatu kebijakan yang sistematis dan tentunyi tidak dinamis bahkan cenderung labil.

Seperti yang diketahui bersama, sejak merebaknya Covid-19 di Indonesia sudah banyak sekali kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah, mulai dari pembatasan sosial (social distancing), kemudian menyinggung soal lockdown, dan karantina wilayah. Namun, pada akhirnya Pemerintah mengambil keputusan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Bahkan, terakhir diutarakan oleh Presiden Joko Widodp bahwa untuk lebih memantapkan rencana PSBB dan pembatasan kontak fisik (physical distancing) akan diterapkan darurat sipil sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya).

Gugup Menghitung Kalkulasi Faktor Risiko

Hingga detik ini, Pemerintah masih “kucar-kacir” dalam menilai kondisi yang ada. Banyak Pemerintah Daerah (Pemda) secara sepihak mengambil kebijakan karena lambannya Pemerintah Pusat (Pempus) dalam menghitung kalkulasi risiko yang ada. Bahkan sangat dapat dikatakan Pempus mengalami disintegrasi dengan Pemda. Hal itu disebabkan karena adanya perhitungan kalkulasi risiko yang tidak merata antara wilayah yang satu dengan lainnya.

Bahkan kita ketahui bahwa ada beberapa Pemda yang telah membuat rencana melakukan lockdown dan karantina wilayah. Di antaranya Pemerintah Kota Makassar yang awalnya hendak melakukan lockdown namun karena beberapa pertimbangan akhirnya hanya diambil kebijakan karantina parsial yakni pembatasan keluar masuk antar pulau, padahal kasus positif Covid-19 di Sulawesi Selatan sebanyak 66 kasus.

BACA JUGA  Usai Dilantik, SMSI Anambas Bakal Gelar Raker Juli Mendatang

Kemudian Pemerintah Kota Depok juga telah merencakan untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah, namun karena adanya instruksi Pemerintah Provinsi sehingga hal itu batal dilakukan, padahal pasien Covid-19 di Jawa Barat berjumlah 220 kasus. Dan Pemda yang paling vokal ingin melakukan lockdown atau karantina wilayah adalah Pemerintah Kota Surabaya, hal ini dikarenakan jumlah kasus positif Covid-19 telah mencapai 104 kasus, jumlah kasus positif yang ada di Jawa Timur tersebut sama dengan jumlah kasus positif Covid-19 di Jawa Tengah.

Sederhananya adalah jika dilihat dari fakta di atas, maka hal yang pertama kali muncul dipikiran adalah adanya ketidakharmonisan dalam pengambilan kebijakan anatar pusat dan daerah. Namun, jika dilihat dari aspek perhitungan atau kalkulasi risiko dan rencana pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh Pemda lebih logis ketimbang labilnya Pempus dalam mengambil kebijakan.

Sehingga yang terjadi adalah keresahan masyarakat yang ada di pusat ibu kota, mereka dilema antara pulang kampung atau tetap di ibu kota. Karena Pempus secara de jure tidak melakukan lockdown ataupun karantina wilayah, tapi secara de facto melarang setiap warganya untuk pulang kampung dengan segala iming-iming jaminan kebutuhan. Tapi hingga hari ini belum ada kejelasan terkait mekanisme pembagian kebutuhan pokok tersebut.

Pempus tidak ingin melakukan lockdown seakan-akan karena menghindari pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”.

Tapi kembali lagi labilitas Pemerintah dalam mengambil keputusan mengundang ketidakpastian bagi rakyat. Ditambah lagi dengan pernyataan darurat sipil, padalah darurat sipil itu hanya dilakukan ketika ada kerusuhan yang tidak terkendali lagi, sedangkan di Indonesia hingga hari ini belum ada kerusuhan yang begitu berarti.

Pemerintah Offside, Masyarakat Darurat Kesehatan

Pemerintah sampai saat ini masih sangat vokal mengungkapkan istilah PSBB sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun yang menjadi persoalan adalah Pemerintah telah mengumumkan akan melakukan PSBB tetapi belum menyatakan adanya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM). Sedangkan dalam Pasal 49 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan ternaktub ketentuan bahwa “Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor

BACA JUGA  Jelang Maulid Nabi, Wiku Ingatkan Pemda Lakukan Pengawasan Kegiatan Masyarakat

risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan”. Sangat jelas terlihat bahwa sebelum melakukan karantina wilayah hingga PSBB ada mekanisme awal yang harus dipenuhi yakni adanya situasi KKM.

Inilah yang menyebabkan Pemerintah dapat dikatakan offside. Pihak yang dapat menetapkan dan mencabut KKM tersebut adalah Pempus, sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, bahwa Pempus menetapkan dan mencabut KKM. Dalam artian, ketika Pemerintah hendak membatasi perpindahan penduduk atau warga maka terlebih dahulu harus ada ketetapan Pempus bahwa terjadi KKM di Indonesia. Tapi faktanya hal tersebut terjadi tidak sesuai ketentuan yang berlaku.

Penting diketahui, KKM itu sendiri adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara (Vide: Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan).

Jelas bahwa sudah seharusnya Pempus terlebih dahulu mengumumkan adanya darurat kesehatan di masyarakat. Tidak asal mendengar bisikan dari sana dan sini. Ibarat kata, “menebang menuju pangkal, melanting menuju tampuk”. Artinya setiap tindakan yang dilakukan harus ada maksud dan tujuannya. Tidak asal mengambil keputusan yang pada akhirnya diralat kembali. Kebebalan Pemerintah dalam menyikapi Covid-19 tidak akan hilang jika tidak konsisten dalam mengambil keputusan.

Pemerintah Hilang Arah, Masyarakat Menganga

Peran masyarakat sebagai spionase kebijakan Pemerintah sangat penting, karena tanpa masyarakat dalam mengontrol kebijakan maka penguasa dapat bertindak sewenang-wenang. Tapi karena labilitas kekuasaan dalam memutuskan sebuah kebijakan sangat membingungkan masyarakat. Memang miris dan sadis jikalau dibayangkan. Butuh waktu berjam-jam memikirkan kebijakan yang keluar dari ucapan sang penguasa, keesokan harinya kemudian dicabut.

Bangsa yang baik adalah bangsa yang terbuka dengan kritik dan saran dari masyarakatnya. Tapi Pemerintah yang baik adalah Pemerintah yang memberikan kepastian kebijakan kepada masyarakatnya. Tentu, harapan yang ingin dicapai bersama ialah terbentuknya tatanan masyarakat yang baik dan kebijakan Pemerintah yang baik pula. Semua problematika itu bisa diatasi dengan secarik kertas kepastian, bukan sebatas ikhlas, tetapi pantas.

Hari ini kita dibingungkan oleh pendirian Pemerintah, tapi kedaulatan rakyat akan senantiasa memberikan kepastian bahwa melindungi diri sendiri merupakan hak, namun melindungi sesama manusia adalah kewajiban moral. To render to each man what is his due (memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).

Sumber : Sulselsatu.com



Terhubung dengan kami

     


Pasang Iklan Banner klik DISINI