Tidak Malu Jadi Wartawan (Tajuk Redaksi)

Dibaca: 324 x

Ilustrasi.net

Menjadi seorang Wartawan di negeri ini dan saat ini, rasanya tidak perlu lagi menaruh rasa malu atau minder. Maklum, di era digital yang sudah serba canggih sekarang, tidak terlalu sulit untuk menemukan Wartawan untuk dijadikan teman dalam melakukan peliputan. Berbeda kalau dulu, selalu sendiri. Di mana-mana daerah baru, hasil pemekaran, menjadi Wartawan agak sedikit terasa canggung dan terasa masih asing, karena tidak banyak yang berpendidikan mumpuni, mahu memilih profesi ini sebagai mata pencaharian.

Para oknum Pejabat-pun kerap tidak mengerti dan cenderung abai dengan keberadaan seorang Wartawan ketika itu. Ditambah lagi setigma negatif yang melekat pada seoarang Wartawan lebih kepada suka memeras, meminta-minta dan beberapa stigma negatif lainnya. Hal itu diakibatkan oleh prilaku yang dijalankan sebagian oknum yang mengaku Wartawan, namun tidak mematuhi kode etik dan profesionalisme seorang Wartawan.

Namun semuanya itu, sepertinya sudah sangat jauh berbeda. Sudah banyak Wartawan di mana-mana di setip pojok negeri ini. Wartawan, terbilang menjadi profesi yang bergengsi. Buktinya, banyak yang ingin menjadi Wartawan dan tidak malu-malu lagi. Dulunya lebih memilih menjadi pengangguran karena malas bekerja ketimbang jadi Wartawan. Mulai yang dari hanya berijazah Paket C, SLTA sederajat hingga para sarjana, mulai tertarik. Entah apa alasannya, wallahualambissawab.

Kerasnya tingkat persaingan perusahaan media yang memerlukan kecepatan dan ketepatan saat ini, mengharuskan perusahaan media untuk merekrut sumberdaya yang banyak. Dengan demikan, membuka peluang bagi yang memiliki rasa ingin menjadi seorang Wartawan. Tidak perlu proses ini dan itu, Kartu Pers pun dengan mudah didapatkan oleh Wartawan Pemula. (Ketatnya Persaingan Bisnis Media dalam Era Digital: kompassiana.com)

Pada posisi ini, seperti dua sisi mata uang. Pada satu sisi diperlukan sumberdaya untuk direkrut sebagai Wartawan oleh Perusahaan-perushaan media. Pada sisi lain, sumberdaya yang direkrut tersebut memang sulit berkemampuan jurnalistik, sementara beban kerja yang diemban menuntut untuk memiliki kemampuan yang lebih guna menghadapi persaingan yang tinggi.

BACA JUGA  Gerak Cepat, Pemdes Sunggak Salurkan BLT-DD Kedua dan Ajak Masyarakat Berdo'a Agar Covid-19 Segera Berlalu

Walau terkadang, sumberdaya yang direkrut, selalu saja tidak memiliki kemampuan jurnalistik, karena tidak memiliki latar belakang dan kesejarahan yang panjang dalam proses menjadi seorang Wartawan yang menguasai penulisan berita dan mengerti etik peliputan yang baik. Pada kondisi seperti ini, lebih cenderung melahirkan generasi Wartawan yang dengan istilah baru adalah ‘Wartawan Abal- abal,’ (Simak! Begini Cara Bedakan Wartawan Beneran dan Wartawan Abal-abal Menurut PWI KBB: Bandungkita.id)

Menjadi Wartawan hari ini, memang sangat jauh berbeda dengan kondisi pada 20 tahun yang lalu. Misal saja, untuk diterima pada sebuah perusahaan media, dulu sangatlah sulit dan melalui proses seleksi yang sangat selektif. Itu lebih dikarenakan sedikitnya perusahaan media kala itu. Persyaratan misalnya, harus berpendidikan sarjana minimal S1. Belum menikah, punya kendaraan sendiri, usia tidak boleh di atas 28 tahun, harus bisa bekerja di bawah tekanan selama 24 jam, harus meliput dan menulis berita minimal empat berita dalam satu hari setiap harinya.

Sehingga, dengan tempaan seperti itu, seorang Wartawan Pemula, terlatih dan terbiasa bekerja secara profesional. Baru setelah dua tahun bekerja aktif, seorang Wartawan Pemula mulai memiliki kemampuan menulis berita secara mandiri dengan baik. Itupun masih jauh dari kata sempurna. (Ciri-ciri dan karakteritik Wartawan Profesional: Solupblogspot.com)  

Lantas, bagaimana bagi mereka yang mengaku sebagai seorang Wartawan, sementara tidak memiliki latar belakang dan kesejarahan panjang seperti itu? Itulah apa yang disebut dengan ‘Wartawan Karbitan’, mendadak jadi Wartawan, Tiba – tiba jadi Wartawan. Sim salabim jadi Wartawan. Bisakah berkemampuan menulis dapat diperoleh dengan secara serta merta?, atau tiba-tiba menjadi Wartawan paling berkemampuan, hanya bermodalkan dengan petantang-petenteng? Rasanya tidak mungkin bisa seperti itu.

BACA JUGA  Danlanal Tarempa Laksanakan Safari Posal

Lalu apa yang mereka banggakan dengan mengaku menjadi seoarang Wartawan?, apakah punya duit banyak? apakah dengan bebas menggertak-gertak Pejabat atau Narasumber yang diduga bermasaalah,? atau bangga karena bisa bergaul dengan para Pejabat tinggi?, orang kaya atau yang sejenisnya?

Namun, sebenarnya apa saja keterbatasan yang dimiliki oleh seorang Wartawan Pemula, bisa saja tertutupi dengan adanya keinginan belajar dan belajar. Agar menjadi lebih bisa dan lebih menguasai bagaimana menyajikan sebuah prodak jurnalistik yang baik dan benar. Asal jangan lupa saja bahwa, esensi menjai seoarang Wartawan adalah memiliki kemampuan menulis dan berkemampuan melakukan investigasi yang handal. Pembawa kebenaran dan penegak keadilan.***

 

 



Terhubung dengan kami

     


Pasang Iklan Banner klik DISINI