Hari Anak adalah agenda tahunan yang diselenggarakan pada tanggal yang berbeda-beda di berbagai negara di belahan dunia. Hari Anak Internasional, diperingati setiap 1 Juni. Sedangkan Hari Anak Universal, diperingati setiap 20 November.
Tanggal tersebut, diumumkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sebagai Hari Anak-anak se- Dunia. Kemudian, pada tanggal 14 Desember 1954, Majelis Umum PBB lewat sebuah Resolusi, mengumumkan satu hari tertentu dalam setahun, sebagai Hari Anak se-Dunia. Yaitu pada tanggal 20 November.
Setiap negara bisa saja merayakan Hari Anak pada tanggal yang berbeda-beda. Namun perayaan ini tetap bertujuan sama, yaitu menghormati dan mengutamakan hak-hak anak di seluruh dunia.
Tepat tanggal 23 Juli, Negara Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Hal itu sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) Nomor: 44 Tahun 1984 Tanggal 19 Juli 1984 (Era Presiden Suharto).
Lalu apa makna sesungguhnya HAN ini untuk anak-anak di Indonesia?. Seperti diketahui, dari sejumlah riset yang dilakukan, menunjukan bahwa jumlah usia anak adalah, sepertiga dari jumlah orang dewasa. Artinya, jika hari ini Indonesia memiliki 250 juta jiwa, maka jumlah usia anak di Indonesia adalah sekitar 83 juta jiwa.
Dengan jumlah yang sebesar ini, maka bisa dipastikan, ada banyak permasalahan sosial bagi para usia anak ini. Segala permasalahan bagi anak yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan di Indonesia. Mulai dari persoalan kekerasan fisik, psikis, seksual terhadap anak hingga lingkungan yang tidak ramah anak.
Anak telantar, dan nernagai permasalahan anak yang berkaitan dengan gadget juga sedang naik daun beberapa tahun belakangan ini, serta beragam masalah anak lainnya.
Meskipun banyak permasalahan yang berkaitan dengan anak tersebut. Tetapi tidak menutup kemungkinan dibalik masalah yang berkaitan dengan anak itu terdapat pula anak-anak yang berprestasi. Mereka mencoba mengharumkan nama bangsa dan terutama keluarga. Karena sejatinya, Indonesia juga banyak mempunyai anak-anak yang berprestasi, anak yang berbakti, berbudi luhur, ramah, serta segudang kebaikan-kebaikan lainnya.
Namun dunia hari ini begitu didominasi oleh teknologi yang semkain canggih. Meskipun tekonologi memberikan banyak dampak positif, tetapi teknologi juga memberikan dampak negatif yang mampu mempengaruhi kehidupan banyak orang. Memanfaatkan kecanggihan teknologi, bukanlah hal yang salah. Ketika pemanfaatannya itu, masi diawasi dan tidak menyimpang.
Salah satu teknologi yang hampir semua diketahui dan digunakan oleh kalangan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa adalah gadget. Gadget sangat identik dengan benda elekronik yang berukuran kecil dan mudah dibawa kemana-mana (mobile). Salah satunya ialah smatphone atau handphone.
Smartphone adalah telepon genggam yang mempunyai kemampuan dengan pengunaan dan fungsi yang menyerupai komputer (Wikipedia.org). Berbagai macam tipe smartphone selalu muncul tiap bulannya. Itu menandakan bahwa permintaan terhadap gadget ini sangat tinggi.
Di Indonesia, banyak sekali anak-anak dibebaskan untuk memainkan berbagai jenis smartphone. Padahal anak dibawah umur belum begitu penting memiliki atau menggunakan smartphone untuk membantu pekerjaan sehari harinya. Lain halnya remaja atau orang dewasa yang lebih membutuhkan smartphone sebagai media untuk mencari informasi maupun memberikan informasi.
Apa yang membuat anak-anak begitu candu dengan sebuah gadget?. Kebanyakan dari anak-anak sering menggunakan smartphone untuk bermain games (permainan). Inilah yang menimbulkan kecanduan karena games pada gadget sangat digemari anak-anak di bawah umur.
Kendati demikian, ada anak-anak yang memang punya rasa ingin tahu dan inisiatif tinggi untuk mempelajari hal baru. Sebagian anak kecil menjadi gadget native karena bentukan orang tuanya. Survei dari Nielsen dalam 2016 Mobile Kids Report membuktikan hal tersebut. Saat menjaring informasi dari responden yang terdiri dari 4.646 orang tua dengan anak berusia 6 sampai 12 tahun, terungkap bahwa alasan mereka memberi buah hatinya perangkat seluler adalah agar bisa tenang atau mudah dikontrol dan mempermudah proses komunikasi (www.labana.id).
Di samping itu, keinginan orang tua untuk selalu bisa melacak di mana putra dan putrinya berada. Jadi alasan populer lain mengapa anak yang usianya belum genap 13 tahun sudah diperbolehkan menggunakan gadget (www.labana.id).
Kecanduan gadeget terhadap anak-anak yang tidak diawasi dan diperhatikan orang tua, menimbulkan berbagai permasalahan. Mulai dari membuat anak tidak bisa lepas dari gadget tersebut, hingga anak menunjukkan perilaku yang agresif jika tidak diberikan izin memegang gadget.
Karena tidak bisa terlepas dari gadget, mengakibatkan anak kehilangan kendali. Mulai dari semakin buruknya attitude hingga hilangnya rasa menghormati dan menghargai orang tuanya. Selain itu, juga berdampak pada pendidikan, yang mengakibatkan tingkat keinginan belajar anak menurun. Karena adanya konten yang sangat digemari anak di dalam gadget, mereka akan berpikir bahwa belajar terasa melelahkan.
Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya harus dimulai dari pihak keluarga terutama orang tua. Sementara itu orang tua seharusnya kembali memperhatikan dan menyadari kewajibannya terhadap anak. Sehingga anak memperoleh hak-hak yang sesuai. Untuk itu anak yang kecanduan gadget ini hendaknya menjadi peringatan bagi semua orang tua.
Isilah keinginan anak-anak untuk bermain dan bersenang-senang tanpa menggunakan gadget. Hati anak-anak harusnya diisi oleh kasih sayang orangtuanya. Bukan kesenangan dan kebahagiaan sementara dari gadget. Karena pada kenyataannya, anak-anak membutuhkan orang tuanya sebagai pendidik, pembimbing, dan pengobat dari segala hal yang membuat anak merasa sedih bukan gadget.***
Dewi Nurwati, adalah Mahasiswi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Kepri. Juara 2 Lomba Menulis Artikel Tingkat Nasional.