Pandemi Virus Corona (Covid 19) terus berdampak. Hampir seluruh lini terserang imbas buruk dari virus yang kian mewabah ini. Pusat – pusat ekonomi seperti pasar, mall dan tempat perbelanjaan lainnya, sepi pengunjung. Hotel dan penginapan tidak ada yang menginap. Tempat hiburan dan sejenisnya ditutup. Jalan-jalan tidak dilintasi. Taransportasi laut dan udara dibatasi. Ekonomi nasional seakan lumpuh seketika. (WE Online edisi Selasa (24/03/2020): Ekonomi RI Lumpuh, Ancaman Resesi di Depan Mata?)
Semakin luasnya dampak Covid 19 ini, membuat beberapa daerah sudah memberlakukan lokal lockdown. Untuk secara nasional, Kota Tegal, misalnya sudah memberlakukan lokal lockdown sejak Senin (30/3/2020) yang lalu. Di Provinsi Kepri juga, Kabupaten Lingga dikabarkan saat ini tengah mempersiapkan dan berancang-ancang untuk menerapkan kebijakan lokal lokcqown. Walau saat ini, baru menerapkan blokcking area. (Pos Metro edisi 30/03/2020 : Aktivis: Kabupaten Lingga Berlakukan Bloking Area Bukan Lockdown)
Daerah-daerah yang mengambil kebijakan lokal lokcdown tersebut, sepertinya sudah berpikir lebih selangkah dari daerah-daerah yang lainnya. Konsekwensi yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan ini sangat membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebab, masyarakat tidak dibolehkan lagi untuk ke luar rumah dan hanya berdiam di rumah saja. Orang-orang dari daerah lain tidak dibenerkan pula untuk masuk ke daerahnya. Kondisi ekonomi dalam styasi seperti ini, boleh dikatakan lumpuh total. (Kompas.com edisi 29/03/2020: Daftar daerah yang menerapkan lokal lockdown)
Tentunya, satu-satunya kekutan adalah, sejauh mana kemampuan pemerintah setempat mengakomodir kebutuhan masyarakat selama diberlakukan masa lokcdown. Dengan menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) nya sebagai anggaran yang dapat digunakan dalam keadaan tanggap bencana setelah mendapatkan regulasi yang benar sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, mampu memberdayakan kearipan dan sumberdaya lokal yang dimiliki oleh daerah tersebut. Di sinilah letak hikmah yang terkandung dalam musibah covid 19 ini, dimana jika daerah sudah jauh sebelumnya memiliki ketahanan pangan yang tinggi, seperti memiliki lumbung padi, lumbung sagu, lumbung jagung, lumbung ubi atau jenis makanan yang dapat dikonsumsi massal lainnya, daerah akan memiliki kemampuan bertahan untuk waktu satu hingga enam bulan. (Humas UGM edisi 16 April 2007: Pentingnya Ketahanan Pangan Lokal)
Kepulauan Anambas misalnya, jika menoleh ke belakang sekitar 50 tahun yang lalu sekitar tahun 70-an, masyarakatnya tidak banyak bergantung dengan stok pangan yang disediakan oleh pemerintah. Mereka secara mandiri mengolah sumberdaya alam untuk bercocok tanam dan memakan dari hasil kebun, sawah dan ladang yang mereka tanami dengan berbagai macam tanaman pangan, seperti padi, ubi, sagu, pisang dan lain-lain sebagainya. Sementara ikan dan hasil lautnya, mereka tangkap sendiri melalui memancing, menjala, meringgik, menjaring dan sebagainya.
Seperti berladang dan bertanam padi, ketika itu hasil panen dilakukan setiap empat atau enam bulan per sekali panen. Artinya mereka memiliki stok persediaan pangan untuk mampu bertahan selama empat hingga enam bulan. Jika merujuk dari kesejarahan tersebut, Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) memiliki potensi kekuatan pangan nasioal.
Kondisi masyarakat yang mandiri itu, terbentuk dengan sendirinya pula, karena pada waktu itu akses transportasi sulit, rentang kendali pemerintahan jauh, pusat-pusat ekonomi nasional tidak menjangkau. Sepertinya, dengan kejadian in, ada baiknya KKA kembali berkaca pada kesejarahan mas lampau, mempersiapkan diri sebagai daerah yang mampu menjadi dan menyumbangkan kontribusi terhadap negara sebagai daerah yang berketahanan pangan nasional secara nyata. *****)