AnambasPos.com – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah melantik 5 pejabat (Pj) Gubernur setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 50/P/2022 di Jakarta, Kamis (12/5/2022), meliputi wilayah Provinsi Papua Barat, Provinsi Banten,Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Gorontalo.
Kelima daerah itu ditinggal kepala daerahnya yang definitif terpilih di Pilkada 2016, dan menjadi bagian dari 101 daerah yang masa bakti pimpinannya akan kadaluarsa mulai tahun 2022 ini.
Akan tetapi, proses penunjukkan para Pj ini mengundang pertanyaan di publik, karena dianggap belum sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022.
Di dalam aturan tersebut, pemerintah pusat diamanatkan membuat aturan teknis yang menjelaskan soal mekanisme penunjukkan sosok yang layak menggantikan kepala daerah yang terpilih dalam proses pemilihan secara langsung di pemilihan sebelumnya.
Dilansir Antaranews, sejauh ini, di dalam UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), hanya diatur terkait syarat Pj yang patut mengisi sementara jabatan gubernur, bupati, dan atau walikota hingga terpilih kepala daerah hasil pemilihan selanjutnya. Bahkan sempat diujikan sejumlah kalangan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam putusan perkara tersebut, MK memang menolak gugatan para pemohon yang terdiri dari kalangan mahasiswa, wiraswasta, hingga tenaga pendidik, yang mendalilkan ketentuan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 khususnya terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa materiil gugatan para Pemohon merupakan ketentuan peralihan yang telah mengalami tiga kali perubahan, yakni semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016.
Terkait hal itu, MK merujuk UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap yang baru.
Tujuan dari peralihan aturan tersebut, adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan, dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau sementara.
Berdasarkan uraian norma tersebut, MK menyatakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada Serentak 2024.
Sehingga, dalil pemohon tentang inkonstitusional penunjukan Pj kepala daerah yang habis masa baktinya sebelum Pilkada Serentak 2024, atau tepatnya pada tahun 2022 dan 2023 bukanlah persoalan konstitusionalitas norma.
Sebabnya, mengenai kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023, dan juga termasuk para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan, yaitu mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016.
Meski begitu, MK memberikan beberapa catatan mengenai pengangkatan Pj kepala daerah yang diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada harus sesuai ketentuan UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pasalnya, di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada dinyatakan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi Madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sementara pada Pasal 201 ayat (11) UU Pilkada berbunyi, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”