Menurutnya, Reformasi juga mengoreksi begitu banyak aturan untuk perlindungan warga negara seperti UU Pers, UU HAM, ratifikasi perjanjian internasional yang banyak diadopsi pemerintah. “Juga reformasi peradilan. Reformasi hukum ketika itu ingin sedapatnya menjangkau rasa keadilan publik,” tuturnya.
“Namun, ternyata ada hal-hal yang tidak selesai. Dari kacamata politik kekuasaan dan studi-studi tentang kembalinya otoritarianisme, regresi demokrasi di Indonesia dan reorganisasi yang dimanfaatkan kekuatan-kekuatan predator. Terjadi pembajakan terhadap agenda reformasi yang terlihat sejak awal,” imbuh Herlambang Wiratraman.
Herlambang menerangkan ada lima palang pintu yang menjadi penghambat terbesar demokrasi konstitusional dari sudut pandang hukum. Pertama, adanya impunitas yang menyebabkan gagalnya tindakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM masa Orde Baru dan koruptor yang tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban.
Kedua, terjadi kekerasan yang melibatkan faktor politik atau struktural dalam kasus-kasus konflik lahan dan sumber daya alam. Fakta tragis, kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut terus terjadi berulang.
“Ketiga, situasi ini menjadi penanda besar begitu kuatnya politik oligarki yang masuk dalam sistem kekuasaan. Karena itu, tidak heran jika korupsi terus terjadi, institusionalisasi semakin lekat dalam anggaran negara. Eksploitasi SDA dalam mekanisme perizinan terus terjadi. KPK justru masuk dalam perangkap institusionalisasi,” ungkap Herlambang Wiratraman.
Keempat, terjadi pelemahan dan pelumpuhan kebebasan dasar. Kebebasan pers, kebebasan sipil, represi, kriminalisasi melemahkan demokrasi konstitusional melalui serangan media, polarisasi dan pendangkalan via proses manipulasi.
“Kelima, publik memerlukan cara pandang baru dalam demokrasi konstitusional. Kajian tentang bagaimana kekuasaan justru memanfaatkan instrumen demokrasi via kelembagaan demokrasi,” terang Herlambang.