Kemudian dari sisi institusional, Wijayanto menerangkan pemilu yang semula didesain untuk memilih wakil rakyat dibajak oleh oligarki menjadi penyambung lidah oligarki. Hal itu karena pemilu hari ini telah menjadi ajang money politic atau politik uang. Semakin mahal dana yang digelontorkan menjadi penentu kemenangan. Hal itu diperburuk oleh feodalisme yang masih mengungkung partai politik (parpol).
Wijayanto mengungkapkan dari sisi agency, pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat di parlemen dan para pejabat eksekutif semula diharapkan menjadi koridor terdepan dalam memperkuat demokrasi. Namun, mereka ternyata berbalik menjadi aktor-aktor yang memunggungi demokrasi. “Padahal para wakil rakyat dan pejabat eksekutif adalah mereka yang telah dipilih melalui mekanisme demokratis,” ujarnya.
Selanjutnya dari sisi kultural, Wijayanto menegaskan demokrasi membutuhkan budaya politik yang sehat. Sayangnya, hal itu belum menjadi kebutuhan yang terdepan di Indonesia. Feodalisme masih menjadi hambatan terbesar elit politik yang menghalangi agenda membangun budaya dialog dan berbeda pendapat.
“Perbedaan pendapat bahkan telah menjadi petaka bagi aktivis yang mencoba berbeda pendapat, sebagaimana yang dialami oleh Haris Azhar dan Fathia. Sementara di akar rumput yang seharusnya menjadi ajang diskusi sehat, terbelah oleh politik identitas kadrun dan cebong,” papar Wijayanto.
Wijayanto menambahkan ke depan masyarakat sipil amat perlu melakukan konsolidasi diri dengan mempengaruhi aktor-aktor di partai yang berpikiran progresif untuk melakukan perubahan diri masing-masing.
Terkait Pemilu 2024, Wijayanto mengatakan ruang publik harus dididik untuk tidak melulu melakukan jurnalisme pacuan kuda, yaitu jurnalisme yang amat riuh di pinggir arena, tetapi tidak mengetahui substansi dari kegiatan tersebut.
Oleh karena itu, menurutnya, publik harus diingatkan untuk menjadikan Pemilu 2024 ke arah tinjauan yang lebih substantif. Publik juga harus disadarkan untuk melihat kebijakan politik yang secara terus-menerus terjadi eksploitasi terhadap alam dan sumber daya alam, seperti terjadi pada area Wadas dan di lain tempat.
“Bagaimana politik dan keputusan politik dapat menjinakkan oligarki, menghentikan politik uang, perjuangan gender, dan lainnya. Singkatnya, masyarakat sipil harus didorong ke tema percakapan-percakapan ke hal-hal yang lebih substansial,” tukas Wijayanto.
Akademisi UGM dan LP3ES Herlambang Wiratraman mengungkapkan ada banyak harapan publik pada masa awal Reformasi yang diharapkan akan bekerja memperkuat reformasi di Indonesia. Karena itu, masalah-masalah yang ada tersebut diharapkan bisa diatasi dengan melakukan reformasi sistem hukum yang ada.
“Berangkat dari amandemen empat kali konstitusi, ada banyak lembaga baru dibentuk yang diharapkan akan memperkuat hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi di antaranya LPSK,” Herlambang Wiratraman.