Genap Sudah 24 Tahun Reformasi, Tantangan Demokrasi Dinilai Makin Besar

Dibaca: 885 x

Genap Sudah 24 Tahun Reformasi, Tantangan Demokrasi Dinilai Makin Besar
Mahasiswa Universitas Trisakti melakukan tabur bunga saat aksi malam gelora di Tugu 12 Mei Reformasi, Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu 11 Mei 2022. Aksi tersebut untuk memperingati 24 Tahun tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menelan korban empat orang mahasiswa Trisakti saat memperjuangkan reformasi. - Foto: Antara/Reno Esnir.

AnambasPos.comReformasi yang telah berjalan selama 24 tahun menimbulkan tantangan demokrasi yang semakin besar. Hal tersebut disampaikan dosen Universitas Paramadina Hendri Satrio dalam diskusi publik LP3ES bertajuk “Nasib Demokrasi Setelah 24 Tahun Reformasi” yang disiarkan oleh Twitter Space Didik J Rachbini, Minggu (22/5/2022).

Mengutip ajakan dari Prof Azyumardi Azra untuk melakukan reformasi jilid II dengan damai, Hendri Satrio mengatakan tantangan reformasi di usia ke-24 tahun sekarang ini amat besar. Hal terbaru adalah kelalaian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menerbitkan aturan pelaksanaan tentang penjabat (pj) kepala daerah yang sesuai mekanisme demokratis dengan pemilihan umum.

“Penggunaan UU 10/2016 (tentang pilkada) hanya cocok digunakan bagi pejabat publik yang sedang kunjungan ke luar negeri dalam jangka waktu pendek atau 5-6 bulan,” kata Hendri Satrio sebagaimana dikutip dari Antaranews,  Senin (23/5/2022).

BACA JUGA  KNPI Anambas Gelar Nobar Final Piala AFF 2016 Indonesia Vs Thailand

Hendri mengatakan pj yang ditunjuk untuk menggantikan kepala daerah definitif, dikhawatirkan terlalu lama menjabat. Sebab, kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024, kemungkinan baru akan dilantik pada 2025. Penunjukan langsung pj tanpa pilkada hanya akan mengulang keburukan masa Orde Baru.

Tantangan lain dari langkah yang dinilai bisa merusak demokrasi dan kepatuhan terhadap hukum tata negara, menurut Hendri, adalah menyampingkan petunjuk dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Contoh paling nyata adalah putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang harus direvisi. Namun, sampai kini belum juga ada tindak lanjut,” ujarnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga diharapkan menempatkan masalah HAM dan agenda antikorupsi pada level pertama. Hal itu tentunya harus dilakukan di tengah serangan berat ke arah kemunduran demokrasi di Indonesia.

BACA JUGA  Ombudsman Temukan 3 Bentuk Maladministrasi Pengangkatan Pejabat Kepala Daerah Oleh Kemendagri

“Jokowi seharusnya menggerakkan seluruh elemen rakyat untuk meningkatkan kualitas demokrasi, dan bukan dengan memainkan drama anti demokrasi dengan memerintahkan pendukungnya untuk menunggu arahan terkait capres 2024,” kata Hendri.

Saat ini, Hendri melihat sudah mulai muncul letupan-letupan kecil yang kemungkinan menjadi trigger atau pemicu perubahan dalam masalah ekonomi nasional. Salah satunya adalah melemahnya nilai rupiah terhadap US dollar. “Kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng, serta kenaikan harga BBM adalah trigger yang serupa dengan 1998 ketika terjadi kelangkaan susu bayi dan telur ayam,” Hendri Satrio.

BACA JUGA  Langkah Pemerintah Indonesia Mendorong Konsensus di G20 Beri Solusi Persoalan Dunia

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES/Dosen Fisip Universitas Diponegoro (Undip) Wijayanto mengatakan serangan terhadap demokrasi Indonesia saat ini merupakan serangan paling kuat jika ditinjau dari beberapa sisi, sehingga dapat berpotensi membunuh demokrasi.

“Beberapa refleksi mengisyaratkan kondisi aktual demokrasi Indonesia dibandingkan 1988, yakni sisi struktural, sisi institusional, sisi agency dan sisi kultural,” kata Wijayanto.

Dari sisi struktural, menurut Wijayanto, terjadi pelemahan nyata KPK dengan revisi UU KPK pada 2019 merupakan salah satu penanda nyata dari oligarki yang telah melakukan konsolidasi demikian cepat sampai dengan 2019. Dikatakan juga pelemahan KPK sempat dicoba pada sebelum 2014 dengan operasi Cicak vs Buaya.

BACA JUGA  Didik J Rachbini Sebut Ada Indikasi Hasrat Perbesar Kekuasaan di Balik Penundaan Pemilu

Agenda konsolidasi oligarki terutama adalah untuk terus melakukan pembajakan demokrasi di Indonesia secara sistematis. Terjadi juga pelemahan masyarakat sipil dengan tidak adanya protes-protes terhadap kerapnya kenaikan BBM, dan tidak begitu kuatnya penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

“Kampus juga dilemahkan dengan ancaman sanksi bagi mahasiswa yang melakukan aksi protes. Aktivis yang merapat kepada kekuasaan menjadi catatan lain. Terjadi penggerusan kebebasan pendapat dan kebebasan publik berbicara di ruang publik,” ujar Wijayanto.

 


sumber • Antara

Terhubung dengan kami

     


Pasang Iklan Banner klik DISINI