Anambaspos.com – Proses pengesahan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dinilai tak transparan dan tak melibatkan publik. Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Violla Reininda khawatir kasus serupa terjadi dalam revisi UU Cipta Kerja (Ciptaker).
“Mengingat tidak ada progres signifikan dalam hal keterbukaan dan partisipasi publik, perbaikan UU Ciptaker berpotensi berakhir sama,” kata Violla di Jakarta, seperti dilansir Medcom.id, Rabu, 25 Mei 2022.
Ia mengatakan salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Ciptaker adalah membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, baik berbentuk kritik atau masukan. Partisipasi publik dalam pembentukan UU, kata dia, harus dibaca bersamaan dengan beberapa aspek.
Misalnya, akses yang terbuka terhadap seluruh dokumen terkait pembentukan dan proporsionalitas. Serta, bagaimana DPR dan pemerintah secara aktif mengundang dan melibatkan masyarakat.
Ia menilai aspek keterbukaan tidak tercapai dalam pembahasan revisi UU PPP. Pembahasan ini hanya dilakukan kurang dari dua pekan dan dokumen tidak dapat diakses oleh masyarakat.
“Kanal-kanal, rapat-rapat terbuka di media sosial bernilai formalitas. Tidak bisa dijadikan patokan partisipasi karena tidak terdapat komunikasi dua arah dan interaktif,” kata Violla.
Menurut dia, proses pembentukan UU yang baik terjadi dalam pembahasan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pemerintah dan DPR proaktif.
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan lembaganya saat ini menunggu surat presiden (surpres) untuk memulai perbaikan UU Ciptaker usai mengesahkan UU PPP. Puan mengeklaim revisi UU PPP sudah sesuai dengan putusan MK yang menyoal metode omnibus law tak diatur dalam UU PPP sebelum direvisi. Puan berharap UU PPP hasil revisi dapat diimplementasikan dan memberi manfaat.