Beberapa tahun belakangan ini, di Wilayah Hukum Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) terpantau sudah mulai memiliki berbagai instansi penegak hukum. Hal itu seiring dengan perkembangan daerah tersebut sebagai sebuah kapupaten baru.
Intansi penegak hukum dimaksud, seperti Kantor Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Natuna di Tarempa, Kantor Kepolisian Resor (Polres) Kepulauan Anambas yang sudah naik tingkat dari status sebelumnya yang hanya Polisi sektor (Polsek).
Harusnya, hal ini membuat kita semua sadar akan betapa pentingnya jalur legitimasi dalam menanggulangi berbagai perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang sebagai warga negara.
Mengacu pada Undang- Undang Dasar (UUD) Republik Indoneisa (RI) Tahun 1945, Pasal 1 Ayat 3 yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini, menjelaskan kita semua, bahwa kekuasaan Negara Indonesia, dijalankan melalui hukum yang berlaku di Indonesia.
Semua aspek kehidupan sudah diatur melalui hukum yang sah. Sehingga hal ini mampu mencegah konflik yang terjadi diantara warga negara. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diprasyaratkan bahwa, Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent).
Dijelaskan dalam Penjelasan KUHAP Butir 3 Huruf C yaitu: Setiap Orang yang Disangka, Ditangkap, Ditahan, Dituntut dan atau Dihadapkan Dimuka Sidang Pengadilan, Wajib Dianggap Tidak Bersalah. Sampai Adanya Putusan Pengadilan yang Menyatakan Kesalahannya dan Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.
Jadi hemat penulis, dalam hal ini tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabatnya. Dia harus dinilai sebagai subjek bukan objek. Jadi sebenarnya yang diperiksa bukanlah dia sebagai manusianya, melainkan perbuatan yang dilakukannya.
Prof. Andi Hamzah, salah seorang ahli hukum berpendapat, bahwasanya Asas Praduga Tidak Bersalah, tidak bisa diartikan secara letterlijk. Dia berpandangan bahwa Asas Praduga Tidak Bersalah tersebut, adalah hak-hak tersangka sebagai manusia yang mesti diberikan.
Penulis menyayangkan apabila mayoritas masyarakat di Kepulauan Anambas masih saja melanggar asas ini, dalam meng-judge seseorang atas dugaan tindak pidana yang dilakukannya. Seseorang tersebut sudah dianggap telah bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Penulis juga berharap bahwa, agar semua instansi, baik itu instansi penegak hukum maupun pemerintah, agar mampu menghimbau masyarakat di Kepulauan Anambas mengenai hal ini. Mengingat keterbatasan masyarakat dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan keterbatasan kita dalam menggunakan teknologi.
Riwayat Penulis
Tri Wahyu adalah Mahasiswa Ilmu Hukum yang masih kuliah di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Provinsi Kepri.