TAJUK REDAKSI
Beberapa waktu belakang ini, publik di Kabupaten Kepulauan Anambas, dikejutkan dengan aksi penertiban terhadap masyarakat pelaku penambang pasir laut oleh pihak Pol Air Polres Kepulauan Anambas. Penertiban tersebut sangat kontardiski dengan kebutuhan sejumlah pembangunan proyek -proyek pemerintah di Lingkungan Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) hingga saat ini masih menggunakan pasir laut tersebut. (Buruh Tambang Pasir Tardisional Anambas Terjaring Patroli, batampos.co.id edisi 17 Februari 2021)
Dapat diyakini bahwa, aksi penertiban terhadap warga penambang pasir laut tersebut, polisi pasti memiliki dalil bahwa, aktivitas penambangan pasir itu belum mengantongi izin resmi dan diduga melanggar amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), beserta sederet peraturan lainnya. (VoxNTT.com, edisi 1 Desember 2017)
Bukan pengetahuan baru, UU Minerba itu sudah diberlakukan sejak tahun 2009 lalu. Sayangnya, dalam rentang waktu dari 2009-2017, Negara melegalkan aktivitias ilegal di sejumlah lokasi tambang pasir di Kepulauan Anambas itu.
Beberapa sumber terpercaya menyebutkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kepulauan Anambas sehjak lama ikut membiarkan. Yakni sejumlah proyek pembangunan negara dibangun dengan menggunakan hasil yambang pasir laut tersebut. Proyek-proyek pembangunan APBD sering menggunakan pasir laut.
Sebelum penerapan UU Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014, yang salah satunya mengamanatkan urusan pertambangan ada di pemerintah provinsi, institusi pemerintah di kabupaten Kepulauan Anambas rupanya masih melanggengkan aktivitas penambangan pasir tersebut.
Dengan begitu, maka tidak heran jika rakyat yang dengan keterbatasan pengetahuannya masih menganggap bahwa aktivitas mereka tidak sedang melawan hukum. Yang mereka tau hanya, pekerjaan menggali pasir laut adalah untuk permenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
Pasca penerapan penertiban yang dilakukan oleh pihak Polres Anambas, wajar masyarakat merasa gusar. Sebab, seharusnya setiap penyelenggara negara berkewajiban memberikan penyuluhan hukum terlebih dahulu. Hal ini tentu sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum, sebelum hukum benar-benar diterapkan di tengah hukum kebiasaan lokal yang sudah berlangsung sejak lama.
Seharusnya pula, polisi tidak gegabah menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure), tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pesisir.
Penerapan hukum hekekatnya membawa konsekwensi bagi pemerintah. Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau warga yang tak melek hukum lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak tahu hukum, aparat penyelenggara negara juga mestinya ikut merasa bersalah. (Redaksi)