Korelasi antara kemerdekaan dengan hadirny pemimpin berkafasitas, yang mampu memberlakukan keadilan dan kesejahteraan menjadi nyata di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah menapaki usia ke -75 tahun, patut diketengahkan dan menjadi fokus perhatian bagi anak-anak bangsa yang cinta tanah air dan patriotik.
Mengapa tidak. Karena, esensi kemedekaan adalah wujudnya keadilan dan kesejahteraan. Ketidakadilan dan ketidaksejahteraan-lah sebagai pemicu terjadinya kehancuran negara ini ke depannya, jika tidak diurus dengan segera . Olehkarenanya, bagaimanakah sistem yang diterapkan untuk melahirkan pemimpin di Indonesa yang berkafasitas, menjadi kunci utama wujudnya keadilan dan kesejahteraan tersebut.
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019 yang lalu, jumlah Golongan Putih (Golput) di Indonesia ketika itu dikhawatirkan oleh banyak peneliti, semakin meningkat. Lini masa media sosial (medsos) misalnya, Golput dituding tidak acuh terhadap masa depan bangsa. (Tempo.id edisi 15 Agustus 2020: Alasan Pemilih Indonesia Memilih Golput).
Fenomena Golput menunjukan bahwa adanya ketidaksesuaian antara keinginan rakyat dengan sistem yang diterapkan dalam proses Pemilu di Indoneisa yang tengah berjalan hingga saat ini. Itulah mengapa setiap pemimpin yang dihasilkan dari produk bernama Pemilu, Pilpres atau Pilkada, tidak serta merta linier dengan fakta keadilan dan kesejahteraan yang disuguhkan oleh pemimpin terpilih.
Padahal Pemilu adalah tempat rakyat menaruh dalam-dalam harapan besarnya, agar pemimpin yang mereka pilih dapat berlaku adil dan mensejahterakan nasib mereka melalui penegakkan hukum dan kebijakan negara. (Kompasiana eisi 14 Maret 2019 : Tingkat Partisipasi Golput dan Fakta-faktanya)
Mencermati fakta itu, pada hakikatnya, di Indonesia tidak ada pemimpin yang benar-benar lahir dari pilihan rakyat. Hanya yang ada pemimpin yang dihasilkan dari keterpaksaan rakyat memilihnya. Rakyat Golput,, mereka melakukan secara sadar aksi itu, karena tidak melihat ada pemimpin yang layak dipilih. Keberadaan Golput sudah lama di Indonesia dan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Karena, warga tidak wajib memberikan suara di Pemilu. Persoalan Golput, ramai diperbincangkan jelang Pemilu 2019 kemarin dan bahkan pada pemilu-pemilu selanjutnya.
Ada pula pemilih yang tidak sepakat dengan ajakan memilih kandidat yang kurang buruk ketimbang menjadi Golput. Lesser evil is still evil (kurang buruk tetaplah buruk). Lagi pula mereka tidak terlalu yakin yang mana yang lesser (kurang buruk). Dua-duanya bagi mereka sama saja buruknya.
Golput adalah sikap politik yang muncul dari kesadaran kritis dan pemikiran mendalam yang panjang. Pemilih melihat bahwa negara hari ini tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat. Kalau mereka tidak Golput dan diam saja, bagi mereka itu sama dengan tidak sayang sama negara. Sikap mereka yang seperti itu ingin mengirimkan pesan bahwa, itu bearti pula, sama saja mereka membiarkan negara berjalan seperti itu dan membiarkan pendapat bahwa Indonesia sedang baik-baik saja.
Terpaksa memilih
Leopold Sudaryono (44) salah satu dari sekian anak bangsa ini misalnya, mengaku dirinya adalah seorang Golput tradisional sejak tahun 1997. Ia hampir tak pernah menggunakan hak suaranya. Namun memilih karena merasa terpaksa. Seperti pada Pemilu tahun lalu, Leopold ‘turun gunung’ untuk mencoblos karena ia menilai situasi Indonesia sudah genting. Dia perpendapat itu terpaksa dilakukannya, hanya sekedar untuk mencegah yang paling berkuasa. Tidak ada harapan yang banyak dari partisipasinya untuk pergi memilih tersebut.
Selama ini Leopold memilih untuk Golput karena, menurutnya, sistem politik Indonesia menyebabkan pemilih tak bisa memilih calon terbaik. Menurutnya setiap Paslon pada kontestasi pemilu, sudah dijaring dan disaring mengikuti kepentingan partai, bukan kepentingan mayoritas rakyat.
Sistem politik dan elektoral sekarang ini menyebabkan siapapun kandidat yang terpilih akan memperjuangkan kepentingan partai atau basis pendukung. Itu ditolak oleh pemilih yang kritis. Mereka biasanya akan Golput. Kalupun terpaksa memilih, mereka akan memilih yang keburukannya terkecil. Bukan pilihan terbaik yang sesuai dengan harapan meraka sebagai masyarakat garis bawah.
Bagaimana menhadirkan pemimpin yang berkafasitas dan mampu menerapkan keadilan dan kesejahteran bagi rakyat? Diskursus soal ini sudah selayaknya dan sudah tiba saatnya untuk segera dilakukan. Kajian ulang untuk ditemukannnya sistem baru yang lebih tepat, sesuai dengan harapan mayoritas rakyat Indonesia sudah sangat mendesak dibutuhkan untuk menyelamatkan bangsa ini.
Negara ini bukan ada hanya untuk memenuhi keinginan para pemilik modal dan para mafia saja akan tetapi untuk melindungi hak-hak rakyatnya. Momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indosesa (RI) yang ke – 75 tahun ini, menjadi waktu yang tepat untuk semua anak bangsa merenungkannya secara serius. Agar kemerdekaan negara yang ditebus dengan lautan tumpah darah, genangan keringat dan air mata ini, menjadi sia-sia dan diambang keambrukkan menjelang usia 100 tahun. ***