Bagian I
Hiruk pikuk terkait Pilkada seperti yang berlangsung di sejumlah daerah di tanah air serentak terjadi. Jika kita menyimak siaran televisi, hampir setiap hari terjadi pristiwa yang mendebarkan.
Kondisi seperti itu alhamdulillah tidak untuk daerah kita Anambas tercinta. Agenda penting domokrasi itu berjalan aman dan damai. Selain membuat senyum sumringah para komisioner KPUD, tentu juga patut kita syukuri sebagai warga Anambas yang santun.
Sepertinya, dari sudut pandang proses tahapan, pilkada di Anambas berlangsung sesuai harapan. Sama sekali tidak ada konflik. Mungkin itu dikarenakan kompetitornya memang pada hakikatnya tidak ada. Hanya pemenuhan persyaratan saja. Kondisi itu sudah menjadi rahasia umum di Anambas.
Namun dari tinjauan kwalitas, proses pilkada di Anambas boleh disebut mengalami kemunduran dari pilkada sebelumnya. Sebab, tidak ada pilihan beberapa alternatif figur yang berkompeten bagi masyarakat pemilih. Sedang pada pilkada pertama berlangsung sengit dengan empat paslon yang kompetitif dan kompeten.
Namun pada aspek strategi pemenangan, tidak bisa disebut bersalah. Sebab kondisi seperti ini memang sangat menguntungkan bagi kompetitor pengendali agenda setting. Selain meminimalisir lawan saing, juga sangat menghemat pengeluaran kost politiknya.
Lantas apa yang kurang pantas dalam proses ini?. Barang kali ada yang mesti terkoreksi oleh kita. Dasar persolannya adalah catatan kelam sejarah perpolitikan kita di daerah. Menjadi soal-soal panjang tanpa terjawab. Melahirkan pertengangan pada nilai-nilai etika yang bertalian erat dengan marwah. Tersebab petarung sejati ialah menang bermarwah kalahpun terhormat.
Dalam sebuah kompetisi di dunia manapun selalu ada takaran standarnya. Hal itu dibuat supaya terjadi keadilan. Sebagai contoh, kompetitor yang tampil di ring tinju ada klasifikasinya. Maka ada klas ringan, kelas sedang dan kelas berat. Patokannya misalnya dari berat badan. Bayangkan jika kelas berat diadu dengan kelas ringan?
Apa yang terjadi? Sudah bisa dibayangkan pastilah yang kelas ringan remuk redam. Tapi sang pemenang melanggar etika kompetisi. Tidak menjadi spirit ketauladanan.
Persoalan pertama, tidak dipergunakannya saluran independen yang telah dipersiapkan oleh undang-,undang. Kedua, lemahnya mental petarung bagi figur-figur yang semestinya tampil di arena pilkada.Takut mengeluarkan kost politik tinggi.
Ketiga, terjadi kelemahan pengambilan keputusan di Partai Politik. Semestinya cukup pada instrumen partai sesuai tingkatannya. Namun masih ditetapkan melalui keputusan DPP. Pada tataran ini, partai politik rentan dengan tudingan isu mahar politik yang dilematis
Berikut, berpengalaman dari fakta peristiwa yang terjadi di Anambas saat ini, karnanya, menghadapi priode lima tahun ke tiga mendatang, sebagai generasi penerus daerah, menjadi wajib hukumnya mempersiapkan kader militan yang siap menjadi petarung sejati.
Tidak memandang sebelah mata proses pilkada, sebab menyangkut nasib daerah dalam periode lima tahunan. Berdaya efek terhadap letakan pembangunan yang berkesinambungan utuk jangka panjang. (bersambung)
Penulis: Aril Masbah
Pimred Anambas Pos