Terus Berlayar
Mungkin memang sudah beginilah adanya
Berlayar tanpa tiba
Bahkan tanpa singgah
Berlabuhpun tidak
Dan memang mungkin beginilah adanya
Kayuhku tanpa happy ending
Mejadi rengkuh panjang tanpa episode
Digelanggang prasangka
Sangka ini sangka itu pada dunia
Dan aku baru yakin memang beginilah adanya
Ketetapan Tuhan
Yang mengangkat dan menurunkan kuasa-Nya
Pada siapa yang dikehendaki-Nya
Memuliakan dan menghinakan pada siapa pula yang dikehendaki-Nya
Mulia pada saat pengangkatan kekuasaan
Dan hina ketika jatuh dari kekuasaan yang disalahjalankan
Mungkin sudah menjadi rahasia Tuhan
Tentang kemuliaan itu bagi diriku
Adalah pada sebuah pelayaran ini
Sampai ke suatu hari tiba di dermaga abadi
betemu dengan-Nya
Tanpa hina dan tanpa cela
Dan berlayar inilah amal jariah yang nyata
Yang telah tertulis dalam kitab perjajian diri
Tersebab pelabuhan dunia bagai maya
Bersandar padanya mumbuat lena
Ketika tiada amaliah jariah yang menjadi fakta
Dan tanpa amanah yang mampu terwujud menjadi nyata pula
Dikala itulah kita berbaur alfa
Hingga ke hina dina
Akan kian panjang menjadi cela
Tentang Hutan Jemaja
Mengenag Jemaja
Bimbangku menguap pada gunung- gunung
Mengenag Jemaja
Cemasku terbengkalai pada hutan-hutan
Pada Gunung Tujuh, Gunung Besuh, Gunung Selasih, Gunung Datuk
Kian tak bermarwah dengan sejuta pesonanya
Terjamah tangan-tangan para penjarah
Kaum opertunis
Tentang hutan yang hendak kalian tebang
Aku masih saja sanksi
Dengan dalih dan kilah apapun itu
Tetap saja akalku meronta-ronta
Bimbang kalian cuma mencurinya
Tersebab ini negeri kami
Negeri seribu masaalah
Negeri yang tidak begitu canggih menanggulangi segala dampak-dampak
Kekeringan air, ketandusan tanah, erosi, banjir hingga panas menyesakkan dada
Entahlah
Setidaknya bagi diriku, bersuara
Untuk terlepas dari dosa-dosa pada Tuhan Sang pencipta
Dan tak mau disebut bersalah hingga turun temurun ke anak cucu
Menjadi golongan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi
Wahai Tuan – tuan dari negeri seberang non jauh
Sungguh aku bukan manusia yang alergi dengan investasi asing
Tapi Laut kami begitu luas
Bangunlah seribu pabrik dan olahlah hasilnya
Jika kalian dahaga, minumlah sepuas-puasnya
Pasti airnya tak akan pernah kering
Namun jika hutan kami yang kalian tebang
Sunguh mati, kami tak rela dunia akhirat
Mengapa harus hutan?
Bukalah peta
Bukankah kampung kami itu hanya sebesar tahi hidung?
Hearing Ke DPRD
Begitu pelik
Setengah batang rokok saja
Telah membakar nuraniku
Dari hari ke hari
Beribu kata menghujam nyata
Menggumpal – gumpal menghantam dada
Lalu terhungal – hungal dilantak sesak
Karna kata tak lagi mampu terangkai menjadi berita
Kifrahku mati seketika
Terhadang oleh para opertunis
Dan penganut aliran sinisme
Terkoyak moyak hasrat hatiku kini
Pada sebuah kedai kopi tua di sudut kota Tarempa
Secangkir kopi mix keruh pagi itu
Menambah lara tanpa tara
Anggunnya sang pelayan perawan
Tetap saja tak mampu mengurai kusut
Urat-urat yang bekerdut di keningku
Bagai ingin mengunyah –ngunyah fodium
Melantangkan suara
Yang telah lama kelu
Hingga menyeruak sejuknya ruangan ber- AC
Dan kursi yang berbusa mahal lagi empuk
Serta meja-meja beku
Para wakil rakyat itu
Wahai pak ..!
Mengapa pesawat tak jadi hinggap di kampung kami?
Kapan hinggapnya?
Kapan saudare mare kami tak lagi terhuyung-huyung
Dilambung gelombang menuju Bukit Raya
Tak tenang mati kami
Kami mati dalam hayalan
Tersebab sudah terlanjur banyak ada judul
Dalam visi dan misi tentang kemajuan dan kesejahteraan
Cepatlah Pak..!
Wujudkan..!
Berita Hari ini dan Lima Tahun Lalu
Wahai para penguasa
Jangan tebang hutan kami
Berikan kami air, kami ingin minum dengan layak
Kami ingin mandi dengan bersih agar sehat
Kami ingin berwudhu untuk beribadah dengan tenang
Jangan biarkan kami selalu dalam kegelapan
Jangan biarkan kami berkali-kali dalam kepanasan
Wahai para penguasa
Hari ini ikan jualan para nelayan kecil harganya murah
Kue jajakan perempuan tua tak ada yang beli
Cabe naik harganya, telur ayam putus
Bawang merah mahal , anak bayi demam malaria, para istri bermuka kusut
Jangan biarkan kesusuhan membelenggu sepanjang masa di negeri ini
Bagai negeri tanpa bertuan
Di Rumah Bersama Aqiela
Kurang tak banyak bilangan harinya
Sudah enam bulan aku di rumah
Bisnis macet, tersebab modal tak cukup kuat
Melawan kaum Kapitalis
Cuma berharap kearifan lokal
Dari para pemangku kebijakan
Belum juga ada
Padahal seribu kali ku tulis nama Anambas
Pada setiap berita-berita
Menjadi promosi tak terbayar
Terhadap potensi daerah ini
Masih saja di rumah
Bidadari kecilku yang mungil itu
Membuat aku melupakan segala ambisi yang pernah ada dibenakku
Aqiela Safea Az- Zahra
Anakku itu tanpa terasa kini menginjak tahun kedua usianya
Lincah gayanya seketika membuat aku tersentak
Menyadarkan aku pada usiaku sudah tidak begitu muda lagi
Sudah 36 tahun usiaku kini
Tapi belum banyak dapat kuberi arti pada anak-anak dan istriku
Mana lagi ibu ku yang satu-satunya manusia yang paling aku muliakan
Telah lama tak dapat ku kunjungi
Tersebab jauh nun di negeri segantang lada
Bangsa ini mengalami defisit, ditambah pula krisis ekonomi nasioanal
Dolar menembus hampir lima belas ribu rupiah
Lebih parah dari krisis 98
Membuat keaadaan semakin begitu terasa sulit
Istriku seorang PNS bergolongan rendah yang selama ini selalu tenang
Kini hampir setiap hari mengeluh
Maklumlah istri, yang selalu cemas dengan anak-anak
Tak seperti aku yang selalu tak ambil tau
Hem…
Aku coba bersabar saja dengan kondisi ini
Mudahan ada perubahan ekonomi di negeri ini pada tahu depan
Ataukah menempuh pilihan lain jika tak lagi bisa bertahan
Semoga semuanya baik-baik saja
Wallahu Alam Bisawab ….
Negeri Seribu Azab
Di layar TV para pengungsi berkelahi dengan mati
Bom meledak meluluh lantak
Ada perang yang tak berkesudahan
Teroris tanpa habis
Perampokan dan kekerasan beriringan
Pembunuhan menjadi-jadi
Anak bunuh orang tua
Orang tua bunuh anak
Adak anak diperkosa
Ada anak diculik dan diperjual belikan
Ada anak SD bunuh temannnya
Ada anak SD mati di depan gurunya
Para pelajar saling tawuran
Narkoba meraja lela
Para pejabat tertangkap korupsi
Para politisi saling hasyut dan dengki
Ekonomi melambat
Dolar melambung tinggi
Rupiah kian terpuruk
Perusahaan mem-PHK pekerjanya
Buruh berunjuk rasa
Asap kian menyelimuti
Memedihkan mata
Hingga mencabut nyawa
Bagai Neraka
Apa petanda?
Oleh : Asril Masbah

Tentang Penulis :
Asril Masbah, Budak asli Kepulauan Anambas. Lahir di Letung Kecamatan Jemaja pada 3 Maret 1979. Kesehariannya kini aktif di dunia politik sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional. Hoby menulis dan berorganisasi. Aktif juga di dunia jurnalistik. Mendirikan Surat Kabar Umum Anambas Pos dan Media Online www. anambaspost.com. Dalam waktu dekat menggagas Temu Penulis dan Penyair se- Kepulauan Anambas.