Jakarta-Anambaspost.com – Dalam rapat terbatas tanggal 4 Oktober 2016 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta harga gas untuk industri di dalam negeri turun jadi US$ 6/MMBtu dari rata-rata saat ini US$ 9,5/MMBtu.
Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA), Sammy Hamzah berpendapat, penurunan harga gas harus mempertimbangkan tingkat keekonomian lapangan-lapangan sumber gas.
Ada lapangan yang tingkat kesulitannya tinggi sehingga pengembangannya baru mencapai skala keekonomian kalau harga gas di atas US$ 6/MMBtu. Kalau harga di hulu saja sudah US$ 6/MMBtu, tentu sampai di industri di atas itu.
Harga gas di tiap lapangan pun sudah terikat kontrak, besarnya harga ditetapkan oleh pemerintah juga melalui Menteri ESDM. Aturan kontrak harus dihormati, perubahannya perlu disepakati oleh pemerintah dan kontraktor migas.
“Kalau Presiden memutuskan harga gas US$ 6/MMBtu, tidak sesederhana itu. Kita di industri hulu migas, setiap mau jual atau keluar biaya harus diatur pemerintah. Setiap lapangan keekonomiannya beda-beda, harga gas di hulu (yang di atas US$ 6/MMBtu) ditentukan pemerintah juga,” ujar Sammy dalam diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (9/10/2016).
Dia menambahkan, pengurangan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari gas tidak secara otomatis bisa menurunkan harga sampai di bawah US$ 6/MMBtu di hulu. Sekali lagi, tergantung keekonomian lapangan.
“Walau pemerintah mengurangi bagiannya sampai nol, kalau keekonomiannya US$ 7/MMBtu, paling turun US$ 10 sen/MMBtu. Belum lagi transportasinya (gas dari hulu ke industri), nggak gratis. Tidak sesimpel itu,” imbuhnya.
Anggota Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha menambahkan, pemerintah tidak bisa asal menurunkan harga gas. Kalau harga di hulu kurang ekonomis, investor tidak akan tertarik untuk melakukan eksplorasi dan produksi gas di Indonesia. Jangan sampai penurunan harga gas untuk industri di hilir merusak iklim investasi di sektor hulu migas.
“Kita harus berpikir, kalau pemerintah ingin gas jadi pendorong ekonomi, kita juga perlu memperhatikan kondisi di hulu. Misalnya kalau minta gas dari Blok Masela harganya US$ 3/MMBtu, ya nggak akan dikembangkan itu,” ucap Satya.
Menurut Satya, mungkin pemerintah perlu memberikan subsidi untuk gas agar harganya murah. Inilah yang dilakukan Malaysia, mereka menggelontorkan subsidi gas untuk industri lewat Petronas, makanya harga gas di sana bisa lebih murah dibanding Indonesia.
“Kalau misalnya ternyata kita sudah utak-atik nggak bisa US$ 6/MMBtu, mungkin kita perlu subsidi harga gas,” tutupnya. (redaksi/ap).
Sumber : detik.com