ANAMBASPOST.COM, HIBURAN – Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini rupanya bukan hanya dibahas di Indonesia semata. Menurut Ismail Basbeth, sutradara Mencari Hilal, FFI tahun ini ternyata juga disorot pengamat film dari luar negeri.
“Ketika saya di luar negeri, banyak pengamat yang bertanya, ‘Apa yang tengah terjadi dengan sinema Indonesia? Kenapa hampir di semua festival film besar ada film Indonesia?'” tutur Ismail saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta, Rabu (18/11).
Menurutnya, para pengamat keheranan film Indonesia berhasil masuk dan diputar, bahkan tayang perdana, di festival-festival film besar internasional sepanjang 2015.
Seperti yang dikuti dihalaman CNNIndonesia.com, di Venice International Film Festival ke-72, hanya Indonesia dan Thailand yang terpilih menggambarkan estetika dan tren perfilman internasional. Dari Indonesia, A Copy of My Mind karya Joko Awar terpilih tayang dari ribuan film yang didaftarkan.
Dalam Busan International Film Festival di Korea, Indonesia pun berhasil menayangkan dua karya. Lagi-lagi A Copy of My Mind milik Joko, ditambah Aach… Aku Jatuh Cinta karya Garin Nugroho. Keduanya tayang dalam program “A Window on Asian Cinema.”
Toronto International Film Festival, salah satu festival bergengsi di Amerika Utara juga menyaksikan karya film Indonesia. Joko masih dengan jagoannya, A Copy of My Mind. Menariknya, film itu bahkan mendapat standing ovation dari penonton TIFF 2015.
Di acara Tokyo International Film Festival pada akhir Oktober lalu, dua film Indonesia disaksikan publik Jepang. Kedua film tersebut adalah Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto dan Mencari Hilal. Padahal di dalam negeri, keduanya bukan yang terlaris.
Indonesia juga sudah mengirimkan beberapa film untuk mengikuti seleksi festival bergengsi Cannes. Tabula Rasa, Filosofi Kopi, dan film pendek The Fox Exploits the Tiger’s Might dikirimkan ke Perancis.
“Setahun ini penuh, film panjang maupun pendek. Pengamat film di luar mengatakan kepada saya, kalau berkualitas seperti ini terus, film Indonesia dalam lima tahun ke depan akan berubah drastis,” tutur Ismail.
Untuk mewujudkan itu, menurutnya harus ada syarat berupa konsistensi. Pertama, pembuatnya harus orang-orang seperti yang filmnya sudah banyak dipuji dunia. Kedua, perlu ada jaminan dari institusi. “Salah satunya FFI,” Ismail menegaskan.
Ismail melihat, FFI dapat menjadi standar kualitas perfilman nasional. Bila kualitas FFI terjaga, bukan mustahil standar film Indonesia pun akan naik.
Penulis skenario, Salman Aristo sudah mulai melihat perubahan dalam FFI. “Nominasi tahun ini ngeri sekali. Bukan sekadar peningkatan, tetapi ledakan tema yang sangat luar biasa yang berlaga di FFI. Film yang berhasil lolos memiliki kekuatannya sendiri-sendiri. FFI kali ini asyik sekali.”(rsa/vga/Red AP)
Sumber: cnnindonesia.com