Idealisme Cerdas Membangun Anambas
Sembilan tahun usia Anambas yang telah dilahirkan dengan idealisme kolektif masyarakat dan dengan mimpi besarnya untuk mencapai kesejateraan serta kemakmuran bersama. Mimpi besar itu tidak bisa disangkal adalah idealisme yang dinyakini mampu menjadi energi kolektif masyarakat pula dalam menggerakkan roda pembangunan, bukti nyata idealisme kolektif itu bekerja terlihat dari proses pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas, bukan tanpa kendala bahkan jika tidak benar-benar dikawal oleh tokoh pejuang yang tergabung dalam BP2KKA dan upaya sungguh-sungguh dari berbagai komponen masyarakat, bisa jadi pembentukan Kabupaten kandas ditengah jalan, namun fakta sejarahnya Anambas terbentuk dan itu sudah berlansung 9 tahun lamanya.
Sisi lainnya, Idelisme bukanlan benda mati ia bergerak dan berdenyut menginspirasi, menuntun dan memberikan arah langkah sehingga mampu menjadi daya dorong dan daya gagas seseorang atau komunitas bahkan sebuah bangsa untuk melakukan sesuatu yang dipandang bernilai dan memiliki makna dalam kehidupan. Sehingga dengan idealisme dinyakini cita-cita pembentukan Kabupaten akan terkawal dan terkelola secara maksimal, sehingga pada akhirnya mampu merealisasikan harapan dan mimpi bersama.
Masalah mulai muncul ketika adanya perbedaan visi, persepsi dan orientasi dalam mengisi pembangunan serta mulai terbaginya pilihan-pilihan posisi strategis serta peran yang dijalankan oleh masyarakat Anambas, dari yang punya visi 50 tahun kedepan hingga visi esok lusa saja, dari yang ingin membangun Anambas seperti kota Singapore dan Hongkong misalnya atau menjadikan Anambas sebagai syurga wisata dunia seperti Maldive di Maladewa, namun ada juga yang punya visi kenapa tidak dipertahankan saja orisinalitas kampung dan daerah kita, justru keunikan dan kesederhanaannya merupakan kelebihan dan keistemewaan Anambas yang tiada tandingannya.
Lalu lintas masing-masing ide begitu padat bahkan terkadang merayap seperti Pompong di masa jayanya sebab untuk berlabuh dan masuk ke Terempa saja harus antri, atau seperti Speedboat yang saling memacu kecepatannya untuk menjemput penumpang, lalu ide terkadang juga agak ekstrim tergantung musim, jika musim politik atau PILKADA bisa panas dingin dibuatnya meski masih terbatas di warung kopi saja atau seperti musim angin Utara yang datang dengan membawa ombak ganas menghempas pempang dan daratan Anambas dan Ide juga tak jarang terdengar sayuf agak sepi seperti musim Selatan, saat angin dan hujan berhembus dari Laut Cina Selatan yang melenakan sehingga kita lebih banyak berdiam diri dirumah karena hujan, sejuk dan kedinginan.
Itulah dinamika ide, naik turun, melemah menguat, panas dingin, tumpul tajam dan kemudian mengkristal menjadi sebuh idelisme karena berlandaskan keyakinan dan gagasan, dan yang terpenting adalah menjaga konsistensi idealisme itu agar tetap cendrung pada kebaikan.
Muara idealisme haruslah kebaikan, pencerahan dan mendorong pergerakan nilai-nilai positif dan konstruktif dalam pembangunan ditengah kehidupan masyarakat, khususnya nilai-nilai manusia dan kemanusian, idealime bahkan juga harus tercermin dalam aspek pembangunan fisik sekalipun, pembangunan fisik yang berlandaskan sebuah idealisme tentunya tidak akan pernah mengabaikan aspek lingkungan hidup, keberlanjutan dan kelestariannya serta tidak akan pernah mengorbakan orang lain. Jika pembangunan mengabaikan aspek-aspek kebaikan lainnya demi mencapai sebuah tujuan itulah yang disebut pragmatisme bahkan bisa terjerumus lebih parah lagi menjadi sekulerisme.
Terkadang kita sering dibenturkan dengan pemahaman bahwa setiap pembangunan harus realistis untuk apa idealis jika tidak bisa segera diwujudkan dan menjadi kenyataan. Sebuah idealisme harus realistis satu sisi benar adanya karena idealisme tidak juga mesti berada di awang-awang menjulang setinggi langit namun tidak pernah menyentuh bumi. Idealisme juga harus memperhatikan tataran praksisnya agar secara konseptual dan operasional mudah untuk dijalankan dan yang paling penting sebuah capaian idealisme haruslah bisa diukur baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatifnya.
Artinya sikap realistis justru mendukung idealisme dalam proses implementasinya, karena idealisme tanpa sikap praktis dan realistis hanya akan terus jadi bayang-bayang dan mimpi yang sukar menemukan jalan suksesnya, sisi lain yang perlu diwaspadai jika sikap realistis tanpa dibingkai dengan idealisme maka cendrung melahirkan pembangunan semu, ibarat jasad tanpa roh.
Membangun Anambas bukanlah perkara mudah, meski banyak juga yang bilang mudah saja, dengan jumlah penduduk yang sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas serta dukungan APBD yang lumayan besarnya. Namun faktanya, memang tidaklah mudah meski sudah berjalan 9 tahun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan, masih banyak agenda strategis yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat luas belum berjalan maksimal bahkan cendrung tidak normal jalannya, apalagi cerita peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tentu jauh lebih berat lagi untuk mencapainya.
Anambas butuh idealisme yang realistis sekaligus cerdas dalam menjalankan roda pembangunannya, agar tidak terus tersesat tanpa arah yang pada akhirnya berujung ketidapastian masa depan Anambas itu sendiri, disaat semua daerah berkompetisi dipentas global, khususnya menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi Asia ( MEA ) dimana kita persis berada di gerbang depannya, justru kita masih berkabut, silang sengkarut dan menghabiskan energi menyelesai problem internal daerah kita. Ditambah perbedaan sudut pandang dikalangan masyarakat dalam membangun Anambas dan diperburuk dengan sikap apatisme, kepasrahaan yang tidak beralasan.
Jangan lagi kita punya fikiran bahwa tidak bisa berbuat yang terbaik untuk Anambas karena merasa sendirian atau punya fikiran orang lain pasti salah atau tidak ideal padahal kita juga belum berbuat apa-apa untuk daerah ini. Nampaknya menyatukan idealisme yang berserakan diseluruh penjuru Anambas bahkan penjuru Indonesia yang punya kepedulian untuk memajukan Anambas harus segera dimulai, jika tidak maka Anambas akan terus tertinggal dan selalu berkutat dengan problem domestiknya.
Sudahi pula membangun Anambas hanya karena pragmatisme semata, contoh sederahana; jangan lagi mengambil batu karang untuk bahan bangunan, praktis memang, karena batu karang gratis hanya bermodalkan kapak, linggis dan pompong, sudah bisa mengambilnya, namun dampaknya juga sudah dirasakan, ikan menjauh dari pinggiran pantai kita dan jika musim gelombang datangnya lebih cepat dan ganas menerjang pemukiman karena penghalangnya sudah berkurang bahkan menghilang.
Meredupnya keindahan air terjun 7 tingkat, karena lebih sering terlihat onggokan batunya yang bertingkat-tingkat daripada air bertingkat yang mengalir tiada hentinya, karena kita tidak mampu menjaga dan melindungi kawasan hutan sekitarnya yang selama ini menjadi penyangga air sebelun diterjunkan hingga tingkat paling bawah air terjun Temburun, ironis memang Daerah lain menghabiskan uang puluhan Milyar untuk menciptakan air terjun buatan sementara kita sudah disediakan alam tinggal menjaganya saja itupun belum mampu dilakukan dan yang paling parah dengan sikap pragmatisme, kita mau mengorbankan ribuan hektar hutan alami dan menggantinya dengan tanaman lain yang belum jelas untung ruginya, inilah realitas perilaku kita yang tidak realistis dan jauh dari idealisme.
Menghadapi tantangan kedepan yang semakin sulit, disamping realistis, idelisme juga haruslan lebih cerdas, sebab dengan idealisme yang cerdaslah kita mampu memilah dan memilih pilihan-pilihan strategis dalam melakukan pembangunan dan berbagai upaya mendorong nilai-nilai konstruktif ditengah kehidupan masyarakat.
Kita harus cerdas membaca potensi, peluang dan tantangan yang dihadapi saat ini dan kedepan, kita harus cerdas mencari solusi dan menyelesaikan berbagai macam problem yang tengah dihadapi, kita harus cerdas melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Kita harus cerdas dan mencerdaskan bukan justru cerdas untuk bodoh membodohkan, akal mengakalkan dan remeh meremehkan.
Akhirnya idealisme semata tanpa kecerdasan, membuat visi misi Kabupaten Kepulauan Anambas sukar diwujudkan, idealisme tidak realistis, membuat kita kehabisan waktu sementara masyarakat semakin apatis, dan ujung akhir dari sebuah idealisme adalah berbuat baik dan memberi mamfaat pada manusia serta lingkungan bukan justru berbuat kerusakan dan mengundang bencana, jika sudah demikian tinggal kita yang menentukan pilihan, dimana posisi dan peran yang dijalankan, tepok dade tanye selere.
Abu Hanifah, 7-07-2017
Tentang Penulis : Abu Hanifah adalah putra asli Kepulaunan Anambas. Pemikir, Budayawan, Aktivis, Pemerhati Sosial dan Lingkungan.