Anambaspos.com – Rohingya, Sebanyak 400 orang telah tewas dalam kekerasan yang terjadi di Myanmar sebelah barat. Kebanyakan dari korban tewas merupakan Muslim Rohingya. Selain korban tewas, sebanyak 2.600 rumah dibakar.
Pemerintah Myanmar belakangan mengklaim bukan pihaknya yang telah melakukan pembakaran, namun justru menuding kekerasan tersebut dipicu pertama kali oleh serangan gerilyawan Rohingya –Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Atas kerusuhan tersebut, puluhan ribu warga Muslim Rohingya menyelamatkan diri dan meninggalkan wilayah konflik itu. Kebanyakan dari mereka memilih Bangladesh sebagai tempat pelarian. Para Muslim Rohingya yang selamat berjalan selama berhari-hari untuk sekadar mencapai perbatasan. Tragisnya, setelah mencapai wilayah perbatasan, Bangladesh menolak mereka untuk masuk sebagai tempat pelarian.
Menurut salah seorang warga Rohingya yang melarikan diri, Sham Shu Hoque (34 tahun), dia pergi meninggalkan wilayah perbatasan bersama 17 anggota keluarganya. Dia pergi meninggalkan desanya di Ngan Chaung, Jumat lalu setelah diserang pasukan keamanan Myanmar.
Kata Hoque, saat mengusir Muslim Rohingya, tentara menggunakan granat berpeluncur roket dan helikopter untuk membombardir rumah-rumah yang ditempati penduduk Rohingya.
“Saya melihat lima orang terbunuh di depan rumah. Keluarga saya selamat dari serangan tersebut, namun tentara yang melihat kami meminta untuk segera pergi meninggalkan wilayah itu,” kata dia seperti dilansir ABCnews, Sabtu 2 September 2017.
Untuk sampai ke perbatasan, Hoque bersama keluarga akan membutuhkan waktu seminggu berjalan kaki untuk sampai ke Bangladesh, sembari bersembunyi di desa-desa di sepanjang jalan agar menghindari kejaran tentara Myanmar.
Anak-anak Dibantai
Kengerian selanjutnya juga disampaikan salah seorang korban selamat dalam penyerangan tentara Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Cerita itu disampaikan Matthew Smith, Kepala Eksekutif Fortify Rights –kelompok pemantau HAM. “Situasinya mengerikan,” kata Smith kepada The Sydney Morning Herald.
Seorang warga Rohingya yang berusia 41 tahun, mengaku pada Smith, di wilayahnya telah terjadi pembunuhan massal, termasuk pembantaian anak-anak, dan pembakaran rumah. Dia juga telah menemukan saudara dan anggota keluarga lainnya telah meninggal di lapangan setelah kena serangan pasukan keamanan Myanmar di Desa Rakhine, di Chut Pyin, di Kota Ratheduang.
“Mereka memiliki bekas luka di tubuh akibat tembakan peluru dan beberapa lainnya luka,” katanya. “Dua keponakan saya, kepala mereka terpotong, yang satu berusia enam tahun dan yang lainnya berusia sembilan tahun. Kakak iparku juga ditembak dengan pistol.”
Sementara itu Human Rights Watch mengatakan, pada Sabtu ini, citra satelit telah menunjukkan ratusan bangunan telah hancur selama seminggu terakhir, akibat “penghancuran total” desa oleh tentara Myanmar.
Kelompok yang bermarkas di New York tersebut mengatakan, banyak pengungsi yang melarikan diri dari desa-desa di Rakhine, yang selama ini ditempati 1,1 juta Muslim Rohingya. Mereka juga telah menerima banyak laporan bagaimana tentara Myanmar dan polisi membakar rumah mereka dan menyerang penduduk desa secara brutal dan membabi buta.
(red/dun/roh)